Jumat, 05 Februari 2010

Demokrasi Satu Putaran

Oleh Arip Musthopa
Ketua Umum PB HMI 2008-2010

Indonesia pernah mengalami beberapa bentuk demokrasi. Mulai dari Demokrasi Parlementer (1955-1959), Demokrasi Terpimpin (1959-1966), dan Demokrasi Pancasila (1966-1998). Setelah era reformasi, diyakini demokrasi di Indonesia masih mencari bentuknya. Walaupun reformasi politik menghantarkan Indonesia pada sejumlah terobosan dalam penataan politiknya, namun tak ada kesepakatan dari para ahli apa bentuk dan nama demokrasi yang sedang berkembang di bumi Indonesia.


Sejumlah ahli dapat bersikukuh bahwa demokrasi yang benar adalah demokrasi semata, tanpa embel-embel. Oleh karena itu, desain dan praktek demokrasi kita juga sejatinya demikian. Namun tak dapat dipungkiri bahwa Amerika Serikat pun yang diakui telah menjalankan demokrasi lebih maju dari negara lain memiliki label dalam praktek demokrasinya, yakni demokrasi liberal. Lantas demokrasi apakah yang sedang dijalankan oleh Indonesia saat ini? Untuk menjawabnya, pisau analisa saya mengarahkan pada pesta demokrasi lima tahunan, pemilu dan formasi politik yang terbentuk pascanya.

Arti Penting Pemilu
Liberalisasi politik Indonesia mengalir deras pasca tumbangnya Soeharto. Cabang-cabang kekuasaan negara dimaknai dan ditata ulang. Kekuasaan presiden dibatasi, legislatif menguat dan mengambil bentuknya yang baru dengan hadirnya DPD, dan yudikatif dipecah dua menjadi Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi. Kebebasan pers, berserikat dan berkumpul dikedepankan. Partai-partai politik boleh bermunculan bak cendawan di musim hujan. Ekspresi suara publik dalam berbagai bentuk menjadi pertunjukan tersendiri dalam aransemen demokrasi yang coba dimapankan. Hubungan pusat-daerah juga diperbarui melalui kebijakan otonomi daerah.
Perubahan besar yang fundamental dan revolusioner tersebut berlangsung secara bertahap melalui mekanisme yang damai dan konstitusional. Integrasi territorial sempat terancam serius meski hanya Timtim yang lepas. Akhirnya penataan ulang tersebut dilengkapi dengan merubah mekanisme eleksi atau pemilihan pimpinan politik di pusat maupun daerah dengan mempraktekkan bentuk demokrasi langsung, melalui pilpres dan pilkada.
Karena fomasi elit masih sangat cair dan distribusi kuasa sangat plural, maka formasi politik sangat ditentukan oleh hasil pemilu yang diadakan tiap lima tahun. Dari tiga kali pemilu setelah era reformasi, selalu menghasilkan distribusi kuota politik yang berbeda. Sehingga formasi politik yang terbentuk dalam tiga masa pasca pemilu tersebut juga berbeda. Lihatlah Pemilu 1999 yang dimenangkan PDIP, Pemilu 2004 yang dimenangkan Partai Golkar dan Pemilu 2009 yang dimenangkan Partai Demokrat. Masing-masing era pasca pemilu tersebut memiliki “warna” dan “aroma” yang berbeda. Singkatnya, beda hasil pemilu, beda pula “anginnya”.
Dengan demikian, pemilu dalam setiap periode memiliki arti yang sangat penting dan strategis. Bukan hanya menghasilkan formasi parlemen yang berbeda melainkan juga membentuk formasi politik secara keseluruhan yang berbeda.
Dalam kaitannya dengan pimpinan eksekutif misalnya, pasca pemilu 1999 ditandai dengan fenomena pemenang Pileg, PDIP, yang tidak otomatis menjadi pimpinan puncak eksekutif karena dijegal oleh koalisi Poros Tengah yang mengusung Gus Dur. Megawati terpaksa hanya jadi wakil presiden, meskipun di tengah jalan mampu direbutnya jabatan presiden, setelah melalui kontraksi politik yang tidak dapat dipandang remeh dalam perjalanan demokrasi kita.
Pasca pemilu 2004, pemenang Pileg bukan hanya tidak mampu menjadi pimpinan eksekutif, bahkan tidak dapat ikut serta dalam pemerintahan. Sampai akhirnya kontraksi politik yang terjadi menghantarkan pada upaya perebutan “secara paksa” pimpinan Partai Golkar. Setelah itu, Partai Golkar terlibat dalam pemerintahan, stabilitas politik relatif dapat diwujudkan.

Pasca Pemilu 2009
Pemilu 2009 diwarnai oleh satu faktor dominan: upaya mengembangkan dan melanjutkan kekuasaan. Dalam hal ini, hampir semua fenomena politik penting baik yang “wajar” maupun yang “ganjil” dapat dijelaskan dalam perspektif faktor dominan tersebut. Kualitas pileg yang buruk, fenomena mega koalisi, pilpres satu putaran, dan formasi kabinet “bagi-bagi” adalah buah dari kerja politik mewujudkan faktor dominan di atas.
Faktor dominan tersebut, secara spekulatif didasarkan pada hasrat kuasa yang menggebu sebagai kompensasi atas kuasa yang kurang utuh pada periode sebelumnya. Walaupun secara normatif hal tersebut wajar-wajar saja karena setiap kekuasaan senantiasa menuntut stabilitas dan derajat efektifitas yang tinggi. Namun apa jadinya bila semuanya terkesan “dipaksakan”?
Perolehan suara Partai Demokrat (PD) yang melonjak hingga tiga kali lipat dari Pemilu 2004 adalah tahap awal kesan “dipaksakan” muncul ke permukaan. Betapa tidak, hasil yang mendecak rasa kagum tersebut menjadi tak strategis ketika dinodai oleh kisruh DPT dan metode penghitungan IT KPU yang amburadul. Perolehan PD yang fenomenal sebenarnya wajar bila dikoherenkan dengan popularitas SBY, namun entah mengapa harus ada kisruh DPT yang dapat menjadi dalih adanya ketidakwajaran.
Fase berikutnya adalah ketika harus dibentuk suatu koalisi besar untuk mengusung calon presiden incumbent. Secara normatif hal ini wajar saja karena yang mau dibangun bukan hanya memenuhi persyaratan pencalonan seperti pada Pemilu 2004, melainkan suatu koalisi pemerintahan yang akan bekerjasama selama lima tahun baik di eksekutif maupun legislatif. Dasar pertimbangannya tentu adalah kepastian kemenangan, stabilitas dan efektifitas pemerintahan.
Namun entah mengapa muncul kesan dipaksakan ketika koalisinya dibentuk terlalu besar, bahkan melibatkan parpol yang tidak memperoleh kursi di parlemen. Pelibatan mereka kiranya tidak terlalu penting. Namun hadirnya agenda untuk mencegah masuknya calon tertentu ke gelanggang karena dikhawatirkan akan menggagalkan, paling tidak memperpanjang jalan menuju kemenangan, membuat mereka dirasa penting untuk dirangkul.
Hasrat menjadikan permainan cepat selesai melalui pemilihan presiden satu putaran inilah yang harus dibayar sangat mahal. Karena untuk membentuk mega koalisi paling tidak dibutuhkan banyak janji dan bahkan banyak materi. Janji dan materi tentu harus disediakan oleh sang mpunya hajat. Akibatnya dapat ditebak, formasi politik yang terbentuk baik itu di parlemen maupun di eksekutif beserta cabang-cabangnya adalah upaya untuk menunaikan janji baik pada donator maupun parpol penyokong.
Namun anehnya, tidak berhenti sampai disitu, mega koalisi yang telah terbentuk masih juga dirasa kurang. Sehingga PDIP dan Partai Golkar yang awalnya tak masuk dalam koalisi juga berupaya untuk rangkul dengan kompensasi jabatan Ketua MPR dan kursi kabinet. Secara normatif, mungkin ini didorong oleh niat suci mengajak semua kekuatan politik untuk bekerjasama membangun bangsa ke depan dengan meminimalisasi perselisihan.
Namun apa jadinya apabila mega koalisi tersebut benar-benar terlalu besar sehingga tidak mampu dikelola dengan baik? Apalagi bila upaya memperbesar kekuatan pendukung terus dilakukan. Setiap pihak yang (potensial) mengganggu didekati dengan cara demikian, apa jadinya? Belum lagi kawan lama dipenuhi janjinya, telah ditebar benih-benih janji pada kawan baru. Akibatnya, barisan sakit hati juga akan panjang, mungkin lebih panjang dari kekuatan yang bisa dirangkul.
Kekuatan parlemen secara umum dapat ditundukkan dalam komitmen mega koalisi yang diabadikan dalam bentuk kontrak politik secara tertulis. Namun zahirnya demokrasi, mekanisme checks and balances adalah niscaya hadir. Oleh karena tak terwadahi parlemen, maka ia berupaya mencari jalan melalui kekuatan civil society yang disokong oleh media. Kekuatan ekstra parlemen pun menjelma menjadi penyeimbang yang tak kalah garangnya. Akibatnya, hingga belum seratus hari pemerintahan ini berjalan, tidak ada stabilitas politik dan efektifitas pemerintahan yang memadai. Indikasinya dapat dilihat dari tidak berjalan optimalnya program 100 hari pemerintahan.
Inilah gambaran umum demokrasi kita di periode kedua pemerintahan SBY. Sebuah demokrasi yang tertawan akibat upaya “paksa” untuk cepat memberikan kepastian kemenangan serta stabilitas dan efektifitas pemerintahan, yang justru menghadirkan gugatan atas kemenangan dan tak kunjung menghadirkan stabilitas dan efektifitas pemerintahan yang diidamkan. Inilah demokrasi satu putaran. Entah sampai kapan ia kan terus dipentaskan. Wallahu a’ lam bishshawab.

Read More......

Refleksi 63 Tahun: HMI dan Agenda Strategis Bangsa

Refleksi 63 Tahun HMI
HMI dan Agenda Strategis Bangsa
Oleh Arip Musthopa
Ketua Umum PB HMI 2008-2010
Hari ini, 63 tahun sudah Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) berkiprah. Terpaut hanya delapan belas bulan lebih muda dari usia NKRI. Bernafaskan keindonesiaan dan keislaman, HMI menjadi saksi sejarah perjalanan republik. Jatuh-bangun mulai era revolusi fisik, demokrasi parlementer, demokrasi terpimpin, orde baru, hingga era reformasi. Setiap era, HMI senantiasa berupaya memberikan kontribusi yang terbaik kepada republik. Menjadi bagian penting dari tiap perubahan besar yang terjadi.


Namun tidak ada gading yang tak retak. Selalu ada kelemahan dan kekurangan. Hal positif yang menjadi modal HMI, tak jera untuk terus mencoba. Layaknya insan akademis yang selalu haus untuk trial and error. Apalagi status mahasiswa cukup membantu menjadi cover, toh kesalahan tidak melulu bermakna kehancuran.
Kiprah alumni HMI yang eksis di banyak sektor kehidupan berbangsa dan bernegara menandakan ‘anak-anak’ HMI mampu survive. Memang HMI dikenal memiliki daya adaptasi yang tinggi dan tak mudah menyerah menghadapi segala kesulitan. Motto ‘yakin usaha sampai’ mendarah-daging dalam jiwa kader HMI.
***
Semangat memberi yang terbaik untuk republik, tak takut mencoba dan salah, serta optimisme yakin usaha sampai, kini kami rasakan menggelora dalam sanubari kader menjelang usia HMI ke-63. Suatu spirit positif yang dibutuhkan bukan saja untuk kemajuan, namun juga peradaban. Spirit positif tersebut adalah aset berharga yang memungkinkan kader HMI bangga mengibarkan benderanya. Menjadikan alumni HMI tidak tertunduk lesu untuk mengaku sebagai alumni. Lantas, kemana energi besar ini harus disalurkan?
Di tengah kondisi bangsa yang dibayang-bayangi krisis politik saat ini, HMI dituntut untuk tetap kritis dan bersuara lantang tanpa harus kehilangan pijakan intelektual. Oleh karena itu, HMI harus meletakkan sikap dan aksinya dalam koridor agenda-agenda strategis bangsa Indonesia. Tidak terjebak pada fenomena sesaat dan tarian pihak lain yang belum tentu sejalan dengan kejatidirian HMI itu sendiri.
Agenda strategis bangsa tersebut adalah pertama, pembangunan karakter bangsa (nation character building). Kita telah memilih untuk demokrasi yang pilarnya adalah regulasi (UUD 1945 hasil amandemen) dan iklim kebebasan. Konsensus bangsa telah memilihnya dan sekali layar terkembang surut kita berpantang.
Memang ada nada sumir yang meragukan demokrasi cocok bagi Indonesia, atau bukan seperti ini demokrasi yang kita mau. Namun, demokrasi adalah proses, tak mendadak sontak terwujud. Kelebihannya, demokrasi memungkinkan pelibatan pelaku dalam proses secara massif. Sehingga proses dan pembelajaran bukan hanya milik elit, namun juga rakyat.
Pasti ada jeleknya, proses menjadi lebih riuh dan potensi liar yang tinggi. Kemajuan bisa melambat, ketidakpastian juga bisa meninggi dan menciutkan nyali. Namun itulah tantangan sebuah pembelajaran kolektif atas nama demokrasi. Selama mekanisme checks and balances berjalan berbasiskan akal sehat, tak perlu khawatir demokrasi menjerumuskan. Bila telah sampai pada titik kesetimbangannya, kemajuan eksponensial bukanlah mimpi yang utopis.
Kedua, menjadikan negara fokus pada national interest-nya. Dalam hal ini kerapkali kita temukan kebijakan Negara yang tidak menjurus pada kepentingan nasionalnya. Secara gamblang kepentingan nasional adalah mewujudkan tujuan bernegara sebagaimana termaktub dalam alinea ke-4 Pembukaan UUD 1945. Disana disebutkan bahwa tujuan kita adalah ‘membentuk suatu Pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia’.
Analisa-analisa kritis menunjukkan bahwa kita belum memiliki Pemerintah Negara yang mencerminkan apa yang diinginkan konstitusi. Alih-alih berada pada posisi tersebut, malah diidentikkan menjadi kepanjangan tangan kepentingan asing. Adalah tugas komponen bangsa yang tercerahkan untuk terus berbisik, berteriak, hingga tindakan konstitusional pada pemerintah agar mengedepankan pewujudan kepentingan nasional.
Meski tidak mesti diposisikan diametral antara kepentingan nasional dan kepentingan asing, pengarusutamaan kepentingan nasional wajib hukumnya. Masuknya kepentingan asing dimungkinkan sejauh itu sejalan atau mendukung kepentingan nasional. Perspektif ini harus clear dalam setiap kebijakan Negara.
Globalisasi dan tanda-tanda pergeseran konstelasi global di awal abad XXI saat ini, menunjukkan intensitas lobi Negara-negara industri besar. Indonesia menjadi medan pertarungan yang sengit antara Amerika Serikat, Jepang, China, Korea, dan Uni Eropa. Kondisi tersebut mudah menenggelamkan kepentingan nasional dan mendudukkan kepentingan asing menjadi yang utama.
Ketiga, menjadikan bangsa Indonesia kompatibel menghadapi tantangan abad XXI. Abad XXI memiliki anasirnya tersendiri dibandingkan dengan abad XX dan abad-abad sebelumnya. Meski selalu ada yang sama dalam setiap abad, niscaya selalu lebih banyak yang berbeda di masing-masing abad.
Konstelasi geo-ekonomi-politik global, perbenturan antar peradaban tua, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, perjanjian-perjanjian internasional, dan peristiwa-peristiwa besar di tingkat global dan regional adalah yang akan membentuk perwajahan abad XXI. Sejarah mencatat bahwa dinamika global antara pra Perang Dunia (PD) I hingga pasca PD II mampu dimanfaatkan generasi muda bangsa ketika itu untuk merumuskan kelahiran bangsa dan Negara Indonesia.
Kini telah 100 tahun dari masa itu, mampukah generasi bangsa saat ini, khususnya kaum muda, merumuskan dan mendirikan pilar-pilar bagi kebangkitan bangsa selanjutnya? Sehingga apa yang menjadi janji-janji kemerdekaan, apa yang menjadi raison d’ĂȘtre kita membentuk Negara-bangsa bernama Indonesia menjadi kian dekat tergapai.
Abad XXI kerapkali digambarkan sebagai era kebangkitan bangsa-bangsa Asia. Negara-negara di Asia Timur seperti Jepang, China, Korea, dan Taiwan serta India di Asia Selatan dinisbatkan akan menjadi pusat pertumbuhan ekonomi dunia. PDB dunia sebagian besar akan dikontribusi kawasan ini. Pertanyaannya, dimana letak Indonesia dalam konstelasi tersebut?
Dengan potensi SDA melimpah dan SDM yang besar sepatutnya kita menjadi emerging forces baik di tingkat kawasan maupun global. Namun keunggulan komparatif tersebut tidak banyak bicara kecuali dilengkapi dengan keunggulan kompetitif: penguasaan IPTEK dan SDM yang mumpuni.
***
Akhirnya, usia 63 tahun bukanlah usia yang muda dan bukan juga senja untuk sebuah organisasi. Namun sudah lebih dari cukup untuk meneguhkan kedewasaan dan kematangan dalam menyikapi zaman. Ada ungkapan Nabi dimana adalah orang yang merugi apabila hari esok tidak lebih baik dari hari ini dan hari kemarin.
Maka terus bergeraklah HMI, jejakkan langkah-langkah mengharumkan di tengah gelombang dinamika yang terkadang insight-nya tidak tampil kasatmata. InsyaAllah dengan niatan memberi yang terbaik, berani mencoba dan salah, serta optimisme yakin usaha sampai, penempatan historis yang manis akan kau raih. Dirgahayu HMI ke-63. Wallahu a’ lam bishshawab.

Read More......

Sabtu, 15 Agustus 2009

Menjadi Mahasiswa Sejati

Oleh: Arip Musthopa

Mengenang masa awal saya masuk dunia perguruan tinggi, seorang senior yang kelak menjadi presiden mahasiswa di kampus secara menggigit bertanya pada kami, “Siapakah yang saya hadapi ini? Mahasiswa semester awal ataukah siswa kelas empat?”. Pertanyaan tersebut tidak beranjak dari ketidaktahuan melainkan dari kesadaran ontologis bahwa peralihan status dari ‘siswa’ menjadi ‘mahasiswa’ mengundang sejumlah konsekuensi yang tidak sederhana dan kerapkali gagal disadari oleh banyak mahasiswa. Sukses tidaknya perjalanan ‘kemahasiswaan’ seorang mahasiswa sangat ditentukan kesadaran atas pergeseran status tersebut.

Dunia perguruan tinggi sungguh berbeda dengan dunia sekolah menengah (atas dan pertama). Dunia sekolah menengah adalah periode yang dipenuhi suka cita, egoisme, kegundahan khas remaja, dan cita-cita hidup yang masih didominasi oleh ukuran-ukuran material dan pragmatis. Dunia perguruan tinggi berbeda, seolah membukakan segalanya sambil menjelaskan ‘It’s the real life’. Penuh warna dan pertarungan pembentukan jatidiri yang diukur dengan spirit intelektualisme, karya dan akhirnya pengakuan. Hidup tidaklah sesederhana yang dipikirkan sebelumnya, namun tetap menyimpan misteri potensi keindahan dan sukacita yang lebih luas, berwarna, dan mendalam. Semuanya bermula dari kesadaran historis pembentukan dan perjalanan bangsa serta posisi strategis mahasiswa didalamnya.

Sejarah dan Peran Strategis Mahasiswa
Sejarah adalah sebuah proses dialektis. Ia terbentuk dari berbagai peristiwa yang pada saat bersamaan bersifat dekonstruktif dan konstruktif. Ia menghancurkan sebuah kemapanan untuk menghadirkan tatanan baru yang berbeda. Tatanan baru tersebut bisa jadi merupakan penyempurnaan atas tatanan lama—biasanya disebut sebagai proses reformatif—atau bahkan ia merupakan kondisi baru yang sama sekali berbeda dan bertolak belakang. Yang terakhir ini sering dimengerti sebagai proses yang bersifat revolutif. Dialektika historis itu muncul sebagai reaksi atas banyaknya pertanyaan hidup yang dinamis.
Selain itu, kebutuhan hidup manusia yang terus berkembang menuntut adanya inovasi, baik terhadap ide maupun produk-produk peradaban. Karena itu, proses kesejarahan akan terus berlangsung dalam lingkaran thesa-antithesa-sinthesa. Tak ada yang tak berubah selain perubahan itu sendiri.
Sebagai kelompok minoritas terdidik, mahasiswa memiliki banyak kekuatan di dalam dirinya antara lain kekuatan moral (moral force), kekuatan ide (power of idea) dan kekuatan nalar (power of reason). Dengan kekuatan-kekuatan itu mahasiswa, sebagaimana dikemukakan oleh Jack Newfield, bisa disebut sebagai a prophetic minority. Jack Newfield lebih lanjut menjelaskan:

Mahasiswa adalah kelompok minoritas….para aktivis hanyalah minoritas juga dalam populasi mahasiswa. Tetapi mereka memainkan peranan yang profetik. Mereka melihat jauh ke depan dan memikirkan apa yang tidak atau belum dipikirkan oleh masyarakat umumnya. Dalam visi mereka, tampak suatu kesalahan mendasar dalam masyarakat. Dan mereka menginginkan perubahan. Tidak sekedar perubahan-perubahan marginal, tetapi perubahan fundamental. Mereka memikirkan suatu proses transformasi.

Sejarah Indonesia juga mencatat bagaimana pentingnya peran mahasiswa baik dalam proses menuju maupun pasca terbentuknya negara Indonesia. Peran mahasiswa Indonesia yang tergabung dalam berbagai organisasi kemahasiswaan sangat menonjol dalam perubahan-perubahan besar di republik ini. Sejarah kemudian mencatat peran mereka dalam pembentukan nasionalisme Indonesia melalui Sumpah Pemuda (Youth Pledge) 1928, penculikan Soekarno-Hatta yang mendorong percepatan proklamasi kemerdekaan menjadi 17 Agustus 1945, peralihan Orde Lama ke Orde Baru tahun 1960-an akhir, dan peralihan dari Orde Baru ke Era Reformasi pada tahun 1998.
Oleh karena itu, tepat kiranya jika Indonesianis, Benedict Anderson menyebut bahwa sejarah Indonesia adalah sejarah pemudanya. Kehadiran pemudalah, kata Benedict Anderson, yang menciptakan momen sejarah Indonesia masa depan, yakni sejarah terbentuknya sebuah bangsa yang satu, merdeka dari ketertindasan kolonialisme (Revolusi Pemuda: 1988).
Sebagai ‘kawah candradimuka’ pembentukan para aktivis, organisasi kemahasiswaan memang tidak pernah tunggal dan terpolarisasi berdasarkan keyakinan ideologisnya masing-masing. Tiap-tiap kelompok memiliki sikap, pandangan, pemahaman, dan penilaian yang berbeda-beda tentang sejumlah permasalahan. Mereka juga berbeda dalam cita-cita tentang bentuk masyarakat ideal. Namun demikian, tak bisa dipungkiri bahwa organisasi-organisasi kemahasiswaan berperan besar khususnya dalam penyiapan dan penyediaan kader-kader penerus bangsa, apapun keyakinan ideologis dan cita-cita idealnya.
Mereka lah yang memproduksi –meminjam istilah sejarawan Arnold Toynbee—creative minority yang berperan sebagai agent of change dan agent of social control bagi masyarakat dan bangsanya. Berdasarkan background kesejarahan tersebut, sejak awal seorang mahasiswa sepatutnya menanamkan diri untuk menjadi sosok “mahasiswa sejati”.

Mahasiswa Sejati
Untuk menjadi mahasiswa sejati pertama-tama kita harus memahami terlebih dahulu apa yang menjadi ‘fitrah’ dari mahasiswa. Paling tidak ada empat predikat yang melekat pada mahasiswa, pertama insan akademis. Dalam konteks ini mahasiswa adalah insan pembelajar yang haus ilmu dan informasi bagi pengembangan rasio dan kepribadiannya. Sekaligus menjadi bagian yang mengusung dunia yang dinaungi nilai-nilai keilmiahan, moralitas dan independensi.
Kedua, kemudaan. Mahasiswa adalah bagian dari pemuda dan pemuda adalah pemilik ‘darah muda’, yang mencari bentuk jatidiri dan menterjemahkan dunianya terkadang tidak secara rasional melainkan emosional. Dalam kemudaannya, mahasiswa adalah insan yang menginginkan perubahan, progresifitas, dan menciptakan dunianya sendiri yang berbeda dari ‘dunia buatan orang tua’.
Ketiga, youth of the nation. Sebagai youth of the nation, ia merupakan potret masa depan bangsanya. Makanya wajar bila suatu bangsa banyak menaruh harapan padanya. Sebagai youth of the nation, mahasiswa harus mempelajari permasalahan, dan keresahan bangsanya. Memahami kekuatan, kelemahan, ancaman, dan peluang yang dimiliki bangsanya. Lebih penting lagi, menjadi bagian problem solver, bukan beban (liability) bagi bangsanya.
Keempat, elit intelektual. Tidak sampai dari lima persen pemuda Indonesia mampu mengenyam pendidikan tinggi. Oleh karena itu, mahasiswa mau tidak mau terbentuk menjadi ‘elit’ karena jumlahnya yang sedikit dan memperoleh kesempatan istimewa menempuh pendidikan tinggi. Sebagai elit intelektual, mahasiswa sudah sepatutnya menjadi ‘kompas’ yang menunjukkan arah bangsanya. Menjadi ‘lampu pijar’ yang menerangi lingkungan sekitarnya.
Singkatnya menjadi mahasiswa sejati adalah berusaha keras memenuhi keempat predikat yang melekat pada status mahasiswa di atas. Mahasiswa sejati bukanlah mahasiswa yang datang untuk kuliah dan setelah itu pulang, menunggu kelulusan hingga –berharap-- bekerja di perusahaan dan lembaga yang mentereng. Dia tidak puas dengan ilmu yang diperoleh di ruang kelas semata. Dia mencari ilmu dan membentuk kepribadiannya di perpustakaan, diskusi dan seminar, study club, organisasi kemahasiswaan intra dan ekstra, serta melakukan public/community service. Bahkan melakukan “gerakan-gerakan”, menciptakan prototype insan dan masyarakat masa depan! Wallahu a’ lam bi ashshawab.

Read More......

Sabtu, 27 Juni 2009

HMI dan Pilpres 2009

Oleh Arip Musthopa, SIP., MSi
Ketua Umum PB HMI 2008-2010

Pilpres 2009 harus ditempatkan dalam konteks Indonesia yang transisional dari era otoritarian menuju era demokrasi yang mapan. Betul memang kita telah memasuki era demokrasi, namun demokrasi kita masih berdiaspora mencari bentuknya yang paling relevan dengan kondisi sosio-politik-ekonomi-budaya bangsa Indonesia. Dalam sketsa demikian, wajar kiranya dalam praktek demokrasi kita masih terdapat sejumlah kekurangan yang mengundang kekecewaan dan gugatan.


Pengalaman demokratisasi di negara-negara Amerika Latin menunjukkan bahwa waktu 10-15 tahun adalah waktu yang cukup untuk suatu masa transisi politik. Tentu saja tergantung pada kemampuan kita melakukan konsolidasi demokrasi, dalam arti memapankan sistem demokratik dan menempatkan figur-figur demokratik dalam pos-pos penting pemerintahan dan memuseumkan sistem dan figur-figur non-demokratik. Kiranya tahun 2014 adalah momentum kita mengakhiri fase transisi dan diharapkan tak ada lagi perubahan mayor pada sistem politik kita, meski secara minor tak terhindarkan.

Dalam suatu era transisi, apalagi dalam momentum hajat demokrasi seperti Pilpres 2009, terdapat turbulensi politik yang mem(di)pengaruhi berbagai kekuatan sosial-politik. Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) sebagai organisasi kemahasiswaan yang memiliki 186 cabang di kabupaten/kota se-Indonesia dan anggota sekitar 321.000, tentu tak terkecuali. Tulisan ini merupakan ikhtiar kami untuk menjelaskan positioning HMI dalam hajat tersebut.

Pilpres: Antara Prosedur dan Substansi

Pilpres adalah prosedur demokrasi untuk seleksi pimpinan nasional, presiden dan wakil presiden. Lazimnya suatu prosedur, hanya bermakna bila merefleksi nilai-nilai substansi demokrasi. Pilpres yang terlalu berjarak dengan nilai-nilai substansi demokrasi dapat memunculkan gugatan, edukasi yang buruk, dan bahkan malapetaka politik. Nilai-nilai tersebut adalah keadilan, kejujuran, kesetaraan, dan kompetisi yang sehat (tegaknya fatsoen politik).

Pilpres yang demokratik dapat terwujud apabila hadir penyelenggara pemilu yang independen dan mandiri, kontestan yang beretika dan taat aturan main, media massa yang sehat dan obyektif, serta hadirnya pemilih yang cerdas. Ketidakhadiran salah satu dari keempat komponen di atas dapat mengakibat Pilpres mengidap sejumlah kelemahan bahkan cacat yang menjauhkannya dari kategori pemilu berkualitas dan demokratik.

Diantara keempat komponen di atas, posisi terlemah adalah pemilih. Pemilih adalah penentu yang digempur oleh kontestan dan media untuk diminta keberpihakan hati dan pikirannya. Dalam keterkungkungan gempuran tersebut, pemilih seyogyanya memperoleh perlindungan dari regulasi dan penyelenggara. Namun faktanya tidak demikian, pemilih tak dapat berharap banyak pada mereka. Karena regulasi dibuat elit yang belakangan menjadi kontestan. Karena penyelenggara kerapkali lebih menunjukkan kekhawatiran atas protes dari kontestan ketimbang pemilih. Alih-alih mereka memperoleh perlindungan dan edukasi yang cukup, malah disalahkan ketika tidak atau salah menggunakan hak pilih.

Lantas, kemana pemilih patut berharap memperoleh “suaka politik”? Kepada elemen civil society, yang menurut Cak Nur sebagai ‘rumah persemaian demokrasi’. Adalah tugas dari civil society ‘menemani’ pemilih agar tidak tersesat menggunakan hak pilihnya. Sebagai bagian dari elemen tersebut, HMI sepatutnya memberikan edukasi agar menjadi pemilih yang cerdas. Oleh karena itu, HMI kemudian menggelar Gerakan Pemilih Cerdas yang mengajak pemilih untuk: mendaftar sebagai pemilih, menggunakan hak pilih, anti politik uang (suap), dan mengedepankan rekam jejak dan program figur dalam menentukan pilihannya.

Pilpres dan Tafsir Independensi

HMI menggariskan dirinya sebagai organisasi yang bersifat Independen. Independensi dimaknai dua hal, independensi etis dan organisatoris. Independensi etis bermakna setiap anggota HMI berpihak dan memperjuangkan kebenaran, yang didasarkan pada pemahaman teologis bahwa fitrah manusia adalah hanief, cenderung pada kebenaran. Oleh karena anggota HMI independen secara etis, maka konsekuensinya secara organisasi HMI juga independen. Tidak berada di bawah atau menjadi underbouw organisasi apapun, karena akan membatasi ruang implementasi spirit independensi, kalaupun bukannya membunuh spirit independensi itu sendiri.

Dalam aksinya, HMI secara organisasi hanya boleh menunjukkan keberpihakan pada kebenaran atau kepada pihak yang mana kebenaran melekat padanya. Untuk tahu yang benar dan salah dibutuhkan pengetahuan atau ilmu. Disinilah nampak keterkaitan antara keyakinan independensi (dimensi iman) yang bisa terimplementasi dengan baik (dimensi amal) apabila didukung oleh ketersediaan pengetahuan (dimensi ilmu). Atas dasar itu di HMI tidak pernah sepi digaungkan pentingnya intelektualisme sebagai tradisi, yang bukan saja penting bagi bekal individu tapi juga menyangkut kiprah organisasi.

Selanjutnya, dalam suatu kontestasi politik seperti Pilpres 2009, dapatkah logika keberpihakan ‘benar-salah’, seperti yang disyaratkan dalam doktrin independensi dijadikan dasar untuk mendukung atau tidak mendukung calon tertentu? Disini kita dihadapkan pada problem metodologi untuk mengukur tingkat benar dan salah dari masing-masing calon. Sungguh problematis dan penuh jebakan subyektifitas. Dihadapkan pada kerumitan tersebut, nampaknya memilih sikap ‘netral’ merupakan sikap yang paling dekat dengan spirit independensi. Apalagi ada benefit lain, yakni positif untuk memelihara kohesifitas internal. Namun bukankah independensi justru harus berpihak? Suatu ironi apabila atas dasar independensi, yang zahirnya menuntut keberpihakan, malah menjadi tidak berpihak (netral). Lantas, kemanakah energi keberpihakan harus disalurkan? Karena HMI juga pantang bersikap pasif.

Oleh karena pilihan mendukung atau tidak figur calon tertentu terkendala metodologi implementasi doktrin independensi, maka keberpihakan tidak dapat disematkan pada calon atau figur. Yang paling mungkin adalah energi independensi disalurkan melalui upaya membangun sistem dan prosedur (playing field) yang adil untuk semua sekaligus memberdayakan yang terlemahkan oleh sistem yang berlaku. Logikanya, siapapun yang nantinya terpilih merupakan yang terbaik asalkan melalui suatu proses (sistem dan prosedur) yang benar dan baik. Sebaliknya, apabila sistem dan prosedurnya keliru maka pemimpin yang dihasilkan pastinya bukan yang terbaik.

Keberpihakan ini menuntut peran seperti watchdog yang ‘menggonggong’ apabila terdapat kekeliruan dalam berlakunya sistem dan prosedur. Mengambil peran menjadi pengawas jalannya pilpres ketimbang menjadi tim sukses capres. Peran-peran seperti kritik proses, edukasi pemilih, pengawasanpada hari-H, dan mendesakkan agenda strategis ke dalam program calon melalui dialog publik misalnya, merupakan model-model peran yang ditempuh dalam membangun pilpres yang berkualitas dan demokratis.

Pencalonan JK

Isu lain terkait kiprah HMI di Pilpres 2009 adalah perihal pencalonan Moh. Jusuf Kalla, biasa disapa JK, yang diisukan memperoleh dukungan dari HMI. Hal ini tentu pengkaitan sederhana dari status JK sebagai alumni HMI dan pernah menjadi Ketua Umum HMI Cabang Makassar. Apalagi KAHMI, baik yang presidensil maupun presidium, telah menyatakan dukungan secara terbuka kepada JK beberapa waktu yang lalu.

Lantas, bagaimana positioning HMI menyikapi pencalonan JK? Bagi HMI, seperti yang telah diungkapkan sebelumnya, wilayah dukung-mendukung figur calon secara organisasi adalah wilayah yang tidak mungkin dimasuki, meskipun itu adalah alumni HMI. Sikap ini merupakan konsekuensi doktrin independensi yang telah dijelaskan di atas. Dengan demikian, HMI merupakan komunitas yang terbuka bagi semua calon. Adalah kesungguhan ‘rayuan politik’ dan tawaran program dari masing-masing capres lah yang akan menentukan kemana masing-masing anggota HMI akan menentukan pilihan.

Memang pada umumnya alumni dan anggota HMI merasa bangga apabila ada bagian dari keluarganya yang mampu mencapai tingkat kesuksesan tertentu. Solidaritas sebagai suatu keluarga besar yang aktif terkadang lebih dari sekedar merasa bangga melainkan turut membantu ikhtiar saudaranya disertai keikhlasan yang memadai. Solidaritas keluarga besar inilah yang kiranya menjadi ‘variabel laten’ yang dapat memuluskan JK mendulang suara dari alumni maupun anggota HMI secara lebih besar dibandingkan capres yang lain. Tentu saja sejauh JK mampu menekan pada tombol yang tepat untuk membangkitkan ‘variabel laten’ itu. Wallahu a’ lam bi ashshawab.

Read More......

Rabu, 04 Februari 2009

The HMI Way; Menyegarkan Kembali HMI

Oleh Arip Musthopa
Ketua Umum PB HMI

GENAP 62 tahun sudah usia HMI. Rentang usia yang cukup matang bagi sebuah organisasi. Ketika didirikan 05 Februari 1947 lalu, HMI berdiri di bawah semangat keislaman dan keindonesiaan secara bersamaan dan sinergis, bukan dikhotomik. Dua semangat itu dikawinkan, diharmonisasi dan diracik. Gagasan tersebut, menjadi penting di tengah masih banyaknya kalangan muslim yang menghendaki terbentuknya negara Islam, tidak hanya pada masa awal beridirinya HMI, tetapi juga hingga saat ini.

Gagasan keislaman-keindonesiaan yang diusung HMI menjadi sumbangsih gagasan yang sangat apik kepada bangsa, karena mampu mengimbangi ambisi golongan yang menghendaki terbangunnya negara dengan nalar dan sistem teokratik oleh nasionalisme berbalut Islam. Dan, Dahlan Ranuwihardjo, pantas menjadi salah satu ikon yang turut mempertebal karakter kebangsaan di dalam tubuh HMI ketika usia organisasi ini masih belia.

Pembaruan pemikiran Islam Indonesia berhasil lahir dari tubuh HMI pada era akhir 1960-an melalui pemikiran Nurcholish Madjid dengan jargon “Islam Yes, Parti Islam No” dan sekularisasi agama (Islam) yang terus berkembang menjadi narasi besar gelombang pembaruan pemikiran Islam hingga tahun 1990-an. Pada masa itu juga muncul Ahmad Wahib melalui limited group-nya yang oleh Greg Barton disejajarkan dengan Cak Nur dan Gus Dur sebagai tokoh pembaru Islam Indonesia.

Cakrawala pemikiran keislaman-keindonesiaan menjadikan HMI diposisikan sebagai kelompok Islam moderat. Pada masa awal peletakan develomentalisme Orde Baru, gagasan tersebut dianggap cocok menjadi pemikiran poros tengah untuk mengimbangi kekuatan Islam teokratik yang menghendaki negara Islam dan mainstream kelompok radikal kiri yang menginginkan negara totaliter. Saat itulah, sejarah kemudian mencatat kader-kader HMI berbondong-bondong masuk ke dalam birokrasi dan menjadi mesin penyuplay kader dari kelompok Islam selama pemerintahan Orde Baru. Kenyataan ini, kelak terus berjalan hingga membentuk watak politik kekuasaan dan menjadi bumerang kemandegan pemikiran di dalam tubuh HMI sendiri.

Ketika era Reformasi bergulir dan Orde Baru terkilir, payung yang meneduhi kiprah anak-anak HMI pun bergerak sumir. Tetapi kelihaian mengopeni birokrasi dan politik, ditopang stabilitas regenerasi, pemeliharaan jaringan, kemampuan adaptasi, dan diaspora kader-kader HMI menjadikannya tetap bertahan. Bahkan nampak semakin dominan mengisi birokrasi dan elit politik nasional dewasa ini. Namun kualitas, efektivitas dan keberlangsungan jalan tersebut akan menemukan tantangan dan mendapatkan ujian. Paling tidak ini dilandasi oleh beberapa alasan.

Pertama, negara bukanlah pusat perubahan dan sumber daya politik satu-satunya. Kini telah hadir trias politica gelombang kedua, yakni state, private, dan civil sosciety yang masing-masing memiliki pengaruh atau akses terhadap perubahan politik. Dengan demikian, hanya menguasi negara bukan berarti mengendalikan kekuasaan atas negara, apalagi mengendalikan perubahan sosial.

Kedua, dunia telah memasuki abad ke-21 yang menuntut perlakuan berbeda dari abad ke-20. HMI lahir dalam mileu budaya, pemikiran, dan realitas sosial abad ke-20 sehingga niscaya dibutuhkan evaluasi dan proyeksi terhadap rumusan teks dan tradisinya. Apalagi krisis energi, krisis ekonomi, loncatan pengetahuan dan teknologi informasi serta perubahan iklim global akan menentukan formasi masa depan. Pemikiran dan kebiasaan baru HMI yang memiliki imajinasi dan cakrawala tentang formasi kehidupan masa depan mutlak dibutuhkan.

Ketiga, kesanggupan bersaing HMI di tengah kemunculan organisasi intelektual muslim baru yang justru diprakarsai oleh eks aktivis HMI tahun 1970-an dan 1980-an yang aktif di Lembaga Dakwah Kampus. Mereka hadir dengan karakter dan afiliasi gerakan yang berbeda. Kelompok-kelompok ini mulai menguasai sejumlah kampus excellent. Inilah tantangan keberlangsungan HMI ke depan, karena basis kadernya di kampus-kampus.

Keempat, sejak erat ‘bersetubuh’ dengan kekuasaan, tradisi intelektual HMI mengalami proses pemiskinan menuju pemikiran satu arah, political oriented. Komunitas epistemik HMI yang melahirkan banyak intelektual seperti Cak Nur, Ahmad Wahib, Mukti Ali, Dawam Raharjdo, dan lainya digerus oleh komunitas politik. Jarang sekali ditemukan kelompok-kelompok diskusi. Kondisi ini tentu menyedihkan ketika dihadapkan bersamaan dengan lemahnya terobosan pemikiran Islam yang kompatibel dan kontributif bagi nation-state Indonesia yang modern.

Dengan demikian, HMI ditantang untuk survive dan kontributif agar umat Islam dan bangsa Indonesia menjadi lebih baik. Jalan yang dipilih HMI (The HMI Way) selama 62 tahun harus ditafsir ulang dan disegarkan kembali. Tentu empat hal di atas harus diperhatikan dan kiranya menjadi fokus tantangan dan ujian HMI pada usia ke-62 ini. Jalan yang sudah dipilih memang berhasil melahirkan generasi yang membanggakan, namun jika residunya tidak mampu dieliminir di tengah arah zaman yang berubah, akan berbalik menjadi boomerang yang melumpuhkan.

Kini anggota HMI berjumlah lebih dari 100 ribu orang yang tersebar di 186 cabang di seluruh Indonesia dengan berbagai kontribusi jutaan alumninya. Melihat potensi besar itu, HMI masih strategis dan merupakan aset vital untuk mewujudkan Indonesia yang lebih baik. Akhirnya secara objektif, siapapun akan berharap jika The HMI Way atau jalan yang dipilih HMI akan dapat menjawab tantangan zaman kekinian dan masa depan. Semoga.

Read More......

Jumat, 26 Desember 2008

Urgensi Hadirnya Pemilih Cerdas

Oleh Arip Musthopa
Ketika PB HMI sedang mempersiapkan training dan deklarasi gerakan pemilih cerdas tiba-tiba muncul iklan di media elektronik yang mengusung slogan 'menjadi pemilih cerdas dengan memilih yang berkualitas'. Iklan yang diterbitkan oleh Kemeneg Infokom tersebut menggariskan suatu penegasan bahwa terdapat relevansi antara pemilu yang berkualitas dan hadirnya pemilih yang cerdas. Sejauh mana relevansi diantara keduanya itulah yang ingin digambarkan oleh tulisan ini.


Pemilu adalah prosedur demokrasi. Pemilu yang berkualitas berarti sebagai suatu prosedur demokrasi dia tidak berjarak dengan nilai-nilai substansi demokrasi seperti keadilan, persamaan, kejujuran, dll. Keberjarakan antara pemilu sebagai prosedur dan nilai-nilai substansi demokrasi akan melegitimasi proses dan hasil dari pemilu itu sendiri sekaligus membuat tatanan demokrasi kita menjadi rapuh. Merayakan pemilu semata sebagai prosedur hanya akan membuatnya seolah ritual yang miskin makna seperti yang dikeluhkan dari tiap pemilu di masa Orde Baru.

Pemilu yang berkualitas juga mensyaratkan output berupa legislatif dan eksekutif yang lebih baik dari sebelumnya. Pasca pemilu diharapkan terbentuk suatu pemerintahan yang bisa efektif bekerja dalam nafas 'menata warisan masa lalu dan berinvestasi bagi masa depan'. Suatu pemerintahan yang tidak melulu sibuk mengatasi permasalahan aktual tetapi menyiapkan suatu fundamen bagi kehidupan bangsa dan negara yang lebih baik di masa depan.

Agar cita-cita pemilu berkualitas tersebut dapat diraih, paling tidak dibutuhkan kehadiran empat hal. Pertama, penyelenggara pemilu yang fair, mandiri dan independen. Dalam hal ini kapasitas, kapabilitas, dan integritas penyelenggara pemilu (KPU, Bawaslu, dan birokrasi di bawahnya) menjadi pertaruhan. Peran mereka sangat penting dalam menyiapkan 'lapangan' yang baik bagi semua kontestan. Kedua, kontestan pemilu yang harus beretika dan taat aturan main. Dalam hal ini baik partai politik maupun perseorangan peserta pemilu harus mendisiplinkan diri untuk menjaga hasrat kekuasaan agar tidak melanggar rambu-rambu dalam lapangan yang telah disiapkan dengan baik oleh penyelenggara pemilu. Ketatnya iklim kompetisi dan hasrat yang menggebu dapat "memaksa" kontestan mengeluarkan "jurus mabuk" yang bukan saja tidak baik bagi pendidikan politik masyarakat namun juga merusak masa depan demokrasi kita.

Ketiga, media massa yang sehat dan obyektif. Peran media massa dalam mengarahkan proses pemilu dan mempengaruhi hasilnya sangat besar. Oleh karena itu, hadirnya pers yang sehat dan obyektif amat sangat dibutuhkan. Keempat, hadirnya pemilih yang cerdas. Kondisi dan perilaku pemilih sangat menentukan proses dan hasil pemilu. Pemilih yang cerdas akan memilih wakil rakyat dan pemimpinnya yang terbaik, absennya pemilih yang cerdas dapat menghasilkan wakil rakyat dan pemimpin yang tidak kompatibel dengan kebutuhan bangsa dan negara.

Menurut statistik, tingkat pemilih untuk Pemilu 2009 sekitar 80% berpendidikan SLTP ke bawah. Tingkat pendidikan yang rendah tersebut, ditambah faktor keterbatasan akses informasi plus kondisi ekonomi yang kurang menguntungkan dapat mengarahkan pemilih berpikir pragmatis dan "sederhana". Pemilih yang demikian akan dengan mudah menunjuk faktor 'diberi uang', faktor 'penampilan fisik' (tampan atau cantik), faktor 'diberi atribut kontestan', dan sejenisnya sebagai alasan untuk memilih. Padahal itu saja tidak cukup sebagai prasyarat untuk menentukan pilihan yang benar dalam alam demokrasi yang berkualitas. Bahkan pemilih yang demikian akan mendorong lahirnya wakil-wakil rakyat dan pemimpin yang korup dan manipulatif atas aspirasi rakyatnya.

Kondisi mayoritas pemilih yang demikian tentu mengundang keprihatinan dan membahayakan kualitas pemilu dan outputnya. Terlalu mahal masa lima tahun kita serahkan kepada "para pendekar berwatak jahat" (baca: wakil rakyat dan pemimpin yang kurang berkualitas dan tidak baik hati). Disinilah pentingnya pendidikan pemilih oleh 'kalangan tercerahkan' agar hadir para pemilih yang cerdas. Pemilih yang melampui kriteria artifisial di atas. Artinya, tidak mendasarkan pilihannya pada faktor-faktor artifisial tersebut. Dia pro aktif mendaftarkan diri sebagai pemilih, menggunakan hak pilihnya, melawan politik uang, dan beranjak lebih jauh mengedepankan faktor rekam jejak dan program kontestan dalam menggunakan hak pilihnya. Wallau a'lam.

Read More......

Tentang Dualisme KNPI

Oleh Arip Musthopa
Tulisan ini berpijak pada asumsi realitas, terdapat dua kepemimpinan DPP KNPI periode 2008-2011 yang dihasilkan oleh dua Kongres KNPI XII yakni versi Ancol dan Bali, Oktober 2008. Sebagai komponen bangsa yang mengikuti secara aktif proses terbentuknya dualisme tersebut, penulis ingin merefleksi terjadinya dualisme tersebut dan menyumbangkan setitik gagasan untuk jalan keluarnya.


Dalam asumsi 'husnuzan', tidak ada yang menginginkan dualisme DPP KNPI, tidak juga yang terlibat dalam konflik. Cuma 'salah kelola' yang menjadi penyebab perpecahan. Sebagai organisasi tempat berhimpun organisasi kepemudaan, KNPI semestinya menjadi perekat keanekaragaman pemikiran, afiliasi politik, dan aliran kepercayaan pemuda Indonesia. Fungsi perekat KNPI yang kedodoran inilah yang kemudian disesalkan, apalagi terjadi di tengah perayaan 80 tahun Sumpah Pemuda sehingga menjadi anomali sejarah "merayakan persatuan dengan perpecahan".

Inilah titik nadir dari perjalanan sejarah KNPI. Tidak ada yang jaya dalam konflik semacam ini karena logika benar-salah ataupun konstitusional-non konstitusional menjadi "melar" tergantung subyektifitas dan kepentingan. Adu kuat itulah kuncinya, seperti kata Adam Smith "survival of the fittest", yang kuat dialah yang bertahan. Apa yang dapat kita pelajari dari peristiwa "memilukan" ini?

Inkompetensi, Intervensi, dan Kontradiksi

Penulis memandang perpecahan sebagai permukaan atau output dari sesuatu yang lebih fundamental. Istilah tradisionalnya, "tidak ada asap bila tidak ada api". Tentu ada faktor penggerak terjadinya perpecahan tersebut atau kata Marx, 'basis material'-nya. Paling tidak tiga hal berikut. Pertama, inkompetensi dari kepemimpinan DPP KNPI periode 2005-2008. Kepemimpinan yang tidak fokus mengurusi DPP KNPI dan pemuda Indonesia yang dikombinasikan dengan lemahnya pengalaman kepemimpinan pucuk pimpinan DPP KNPI adalah penyebab dari sisi ini. Wujud nyatanya menjadikan keterlibatan di DPP KNPI sebagai batu loncatan bagi karier politik dan bisnis yang lebih baik. Tingginya kepentingan dari pimpinan dan pengurus DPP KNPI bak anak panah yang mengarah ke segala penjuru mata angin yang merobek cakrawala yang memayungi keutuhan DPP KNPI.

Kedua, Intervensi. Tidak dapat dipungkiri bahwa salah arah 'intervensi' dari kementerian pemuda dan olahraga menjadikan permasalahan menjadi lebih akut. Konflik menjadi lebih sulit diatasi ketika salahsatu pihak merasa di-back up oleh kekuasaan pemerintah, meski kita tahu pucuk pimpinan nasional tidak menghendaki demikian. Akibatnya, semangat perlawanan yang dibalut keyakinan bahwa "saatnya pemuda tidak mengembek kepada kekuasaan" menjadi energi tersendiri yang mengkristal. Dalam proses menuju perpecahan, sebetulnya penulis sempat mengusulkan suatu formula untuk menghindari perpecahan dengan 'Kongres dibuka di Ancol dan Berakhir di Bali' namun sayang dinding-dinding ego dan kepentingan sesaat terlalu tebal untuk dapat ditembus.

Ketiga, Kontradiksi. Organisasi yang sehat tidak dibangun di atas fundamen yang saling kontradiksi. Kontradiksi yang paling kentara adalah KNPI yang hakikatnya adalah organisasi dari, oleh, dan untuk pemuda Indonesia namun diurus dan ditentukan oleh suara 'orang tua'. Maksudnya, sudah lazim diketahui bahwa para pengurus DPP KNPI dan pimpinan OKP banyak yang berusia di atas 40 tahun. Padahal idealnya secara sosiologis dan seperti yang diusulkan dalam draft RUU Kepemudaan yang disusun Kemenegpora, usia pemuda adalah maksimal 35 tahun. Kontradiksi berikutnya adalah OKP yang berhimpun di dalam tubuh KNPI tidak semuanya memenuhi kriteria yang ditetapkan oleh konstitusi KNPI itu sendiri. Tidak semua OKP yang berhimpun dan memiliki suara dalam voting di Kongres KNPI adalah organisasi yang lingkupnya nasional. Apalagi besar dan kecilnya OKP tidak dihargai dengan prinsip pembagian suara yang proporsional.

KNPI Baru

Dualisme KNPI tidak layak untuk dipertahankan, kecuali memang KNPI tidak lagi dibutuhkan atau lebih baik didirikan organisasi kepemudaan tempat berhimpun yang baru. Sejauh ini masing-masing pihak masih menggunakan logika adu kuat untuk memperoleh pengakuan dan ingin diakui sebagai satu-satunya OKP yang sah. Dalam hemat penulis, selama logika ini yang masih dijalankan, tidak akan ada penyelesaian atas dualisme ini dan keduanya akan menjadi abu, bukan arang seperti yang mereka harapkan.

Dualisme ini semestinya tidak didekati dari penafsiran 'kami yang paling benar atau konstitusional' karena konstitusi KNPI sendiri tidak mampu mewadahi konflik semacam ini. Ada celah konstitusional yang memungkinkan banyak penafsiran konstitusi sehingga terdapat plus-minus dari sudut pandang ini.

Dualisme dapat diatasi dan terjaminkan tidak akan terulang lagi di kemudian hari apabila elit pemuda Indonesia saat ini mau menurunkan egonya dan membenahi KNPI secara fundamental sehingga dapat tercipta KNPI Baru yang mendekati idealitas. Idealnya KNPI sesuai hakikatnya sebagai organisasi pemuda, dihuni oleh pemuda (saja) dengan maksimal usia 35 tahun. Dihuni oleh OKP yang bersifat nasional, memiliki cabang setingkat provinsi di lebih dari 50% jumlah provinsi dan hal tersebut terbukti dengan adanya aktifitas yang kontinyu dan regenerasi yang normal, tidak hanya mengandalkan kop surat, stempel, dan papan nama. Pembagian hak suara didasarkan pada asas proporsional yakni tergantung besar-kecilnya OKP tersebut dan agar terjaga kemurnian dan semangat awal pendirian KNPI maka OKP pendiri harus diberikan hak keistimewaan tertentu seperti hak veto di PBB atau golden share di perusahaan.

Tanpa perubahan yang fundamental dan memaksakan logika adu kuat mungkin dapat menyelesaikan masalah secara artifisial tapi tidak secara substansial dan sangat mungkin perpecahan akan terulang dalam waktu dekat, bahkan berturut-turut karena yang lemah tidak akan sepenuhnya mati. Generasi muda di KNPI, OKP dan Kemenegpora sekarang dihadapkan pada dua pilihan sejarah: membiarkan logika adu kuat berlanjut dan konflik berlarut atau turunkan ego dan bangun KNPI Baru? Saya memilih yang kedua, bagaimana dengan anda? Wallahu a'lam bishshawab.

Read More......

Kamis, 11 Desember 2008

The HMI Way (for Better Indonesia)

Oleh Arip Musthopa

Secara sederhana 'The HMI Way" adalah sebuah istilah yang kami maksudkan untuk menjelaskan tentang jalan yang HMI (Himpunan Mahasiswa Islam) pilih selama 62 tahun keberadaannya dan bagaimana prospeknya ke depan. Tak terasa jalan yang ditepuh oleh HMI bagi umat dan bangsa Indonesia selama ini telah membuat suatu blok kesejarahan tersendiri yang --paling tidak menurut pengakuan intern-- telah diakui dan layak dilabeli 'The HMI Way' seperti 'The Apple Way', 'The General Electric Way' atau 'The Toyota Way' di bidang lain. Dengan gagasan 'The HMI Way' kami ingin menegaskan tentang "blok sejarah" tersebut, mengkritalisasi nilai dan karakternya, mengevaluasi perjalanannya, memproyeksi, dan mengkontekstualisasinya pada zaman yang terus bergerak dan berubah ini.

Sejak didirikan 5 Februari 1947/14 Rabiul Awal 1366 HMI menegaskan komitmen keislaman dan keindonesiaan secara bersamaan dan sinergis sebagaimana tercermin dalam tujuan awal berdirinya HMI. Dua semangat, yakni keagamaan dan kebangsaan (Nasionalisme) dikawinkan, diharmonisasi dan diracik sehingga saling mengisi selaras dengan visi founding fathers Republik Indonesia di tengah masih banyaknya kalangan muslim yang berteriak hendak membentuk negara Islam. Komitmen awal ini sangat penting karena menjadi bekal awal bagi 'kalangan santri' untuk tidak canggung bernegara, berkiprah secara total dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Padahal sebelumnya, bernegara seolah milik 'kalangan abangan', suatu efek traumatik akibat pendudukan pemerintah kolonial Belanda yang masih kental terasa pada usia dini republik. Pak De (Dahlan Ranuwiwardjo) dapatlah disanjungkan sebagai icon yang secara gigih mempertebal karakter kebangsaan (nasionalisme) pada tubuh HMI di usianya yang masih belia.

Problem berikutnya muncul ketika dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, umat Islam dituntut untuk berkontribusi secara lebih optimal di tengah terjadinya kemandekan pemikiran Islam. Singkatnya, antara doktrin dan realitas kehidupan masyarakat tidak connected. Agama terasingkan dari kehidupan berbangsa dan bernegara yang terus berkembang seiring pembangunan yang terus berjalan. Umat Islam dan kalangan intelektual muslim khususnya tertantang untuk membuat terobosan pemikiran sehingga Islam kompatibel dan kontributif bagi nation-state Indonesia yang semakin modern. Gelegar terobosan pembaruan pemikiran Islampun berhasil lahir dari tubuh HMI di era akhir tahun 1960-an dengan icon utamanya Nurcholish Madjid yang terus berkembang menjadi narasi besar 'Gelombang Pembaruan Pemikiran Islam' hingga tahun 1990an. Pokok-pokok pemikiran Cak Nur yang masih menggema hingga saat ini diantaranya Islam Yes Parti Islam No dan sekularisasi agama (Islam).

Pada saat Orde Baru rising, negara membutuhkan anak-anak bangsanya untuk mengisi birokrasi pemerintahan dan jabatan-jabatan politik sekaligus mensukseskan agenda 'developmentalisme' yang berarti 'negara sebagai agen utama perubahan sosial'. Anak-anak bangsa yang paling siap, dan berkontribusi signifikan dalam menyingkirkan PKI yang melakukan coup de etat tahun 1965, pada saat itu adalah dari tentara dan muslim terpelajar yang pada umumnya anggota HMI atau alumninya. Singkatnya sejarah kemudian mencatat bahwa kader-kader HMI berbondong-bondong masuk ke dalam birokrasi pemerintahan Orde Baru. Walaupun hingga akhir tahun 1980-an untuk jabatan-jabatan politik pada umumnya masih di pegang oleh tentara dan alumni-alumni HMI masih pada posisi second line. Strategi mendekati, mengisi, dan menguasai negara yang diidamkan Islam politik sejak masa Masyumi ini telah berhasil diwujudkan (alumni) HMI pada awal tahun 1990an ketika alumni-alumni HMI mendirikan ICMI. ICMI merupakan icon persetubuhan HMI dengan kekuasaan pemerintahan Orde Baru yang sedang berada di puncaknya.

Ketika era reformasi hadir dan Orde Baru tumbang, payung yang meneduhi kiprah "anak-anak" HMI tiba-tiba goyah dan anak-anak HMI dituntut survive. Kebiasaan "mengurusi negara" yang telah lama tertanam dan ditopang dengan regenerasi yang terus berjalan menjadikannya dapat survive dan bahkan nampak semakin "menggurita" di dalam tubuh birokrasi dan elit politik nasional dewasa ini. Namun kualitas, efektifitas dan keberlangsungan fenomena tersebut masih harus diuji lebih lanjut paling tidak karena beberapa hal berikut. Pertama, negara bukan lagi menjadi pusat kekuasaan dan sumber daya politik satu-satunya. Kini telah hadir trias politica gelombang kedua, yakni state, private, dan civil sosciety yang masing-masing memiliki pengaruh atau akses pada pengambilan keputusan kebijakan publik. Dengan demikian, hanya menguasi negara bukan berarti mengendalikan kekuasaan atas negara. Kedua, aktifis masjid HMI pada akhir tahun 1970-an dan awal tahun 1980an yang aktif di Lembaga Dakwah Kampus telah melahirkan suatu generasi intelektual muslim baru yang kemudian memiliki karakter dan afiliasi perjuangan politik yang berbeda dengan induknya (HMI). Malah generasi baru ini telah melahirkan organisasi tersendiri yang menjadi kompetitor serius bagi HMI dan mengancam keberadaan HMI itu sendiri karena di sejumlah kampus excellent mereka berhasil mengalahkan HMI dalam merekrut kader. Ketiga, dunia telah memasuki abad XXI yang menuntut perlakuan berbeda dari abad XX. Dibutuhkan pemikiran dan kebiasaan baru yang kompatibel bagi konstruksi abad XXI. Sebagian besar aturan main, tradisi, dan pemikiran HMI dirumuskan di abad XX sehingga dibutuhkan evaluasi dan proyeksi terhadapnya. Padahal sejak erat bersetubuh dengan kekuasaan, tradisi intelektual HMI mengalami proses pemiskinan menuju pemikiran satu arah: political oriented.

Dewasa ini 'The HMI Way' ditantang untuk dapat survive dan kontributif agar Indonesia menjadi lebih baik. 'The HMI Way' harus ditafsir ulang dan diarahkan pada arahnya yang baru sebelum disadari bahwa segalanya sudah terlambat dan tidak mungkin diselamatkan. 'The HMI Way' yang sudah dipilih telah terbukti berhasil namun residunya membuatnya lambat kalaupun bukannya susah untuk membelokkan arah seiring arah zaman yang berubah. Dengan sumber daya anggota lebih dari 100 ribu orang yang tersebar di 186 cabang seluruh Indonesia kiranya kader-kader HMI dengan berbagai kontribusi dari alumninya yang berjumlah jutaan mampu menyelamatkan bahtera HMI. Bila kelak demikian, maka 'The HMI Way' memang selalu tepat menjawab tantangan zamannya. Wallahu a' lam. Yakin Usaha Sampai.

Read More......

Secuil Gagasan tentang Kepemimpinan Kaum Muda

Oleh Arip Musthopa

Wacana kepemimpinan kaum muda sangat penting untuk mendorong sirkulasi elit yang telah 10 tahun reformasi masih belum maksimal. Adalah hukum alam bahwa sirkulasi atau regenerasi itu penting untuk menjaga agar sistem berjalan dengan sehat dan terdapat keseimbangan antara tradisionalisme (sebagai reporesentasi masa lalu) dan inovasi (sebagai representasi masa kini dan masa depan). Wacana kepemimpinan kaum muda berpijak pada asumsi ketuaan dan kemudaan sebagai fasilitator bagi hadirnya tradisionalisme dan inovasi tersebut, meski tidak melulu berlaku sesederhana itu.

Karena kerangka dasar memunculkan wacana kepemimpinan kaum muda adalah untuk menjaga sistem berjalan dengan sehat dan seimbang, maka kemudaan jangan dimaknai sekedar umur (muda) melainkan sejumlah karakter lain dan pemikiran "kemudaan" yang menyertainya. Atas dasar kerangka dasar itu, maka prinsip-prinsip universal lain seperti kualitas, kapasitas, dan cara memperoleh posisi dengan etis dan sesuai mekanisme jangan pula dikorbankan demi satu alasan: asal muda!. Sama dengan tidak tepatnya memaksakan alasan "tidak berpengalaman" untuk menolak yang muda untuk tampil.Lantas, bagaimana dengan peluang kaum muda untuk tampil pada posisi-posisi strategis di Indonesia dewasa ini? Kepemimpinan kaum muda akan terbuka kalau terdapat "sistem" yang memungkinkan untuk itu. Bila kita lihat pada sektor politik, bisnis, dan birokrasi, maka sistem yang paling sulit ditembus terdapat pada birokrasi yang terkenal dengan adagium 'birokrasi kompleks'. Untuk politik relatif lebih terbuka, apalagi dunia bisnis. Singkatnya, semakin dinamis dan 'berserak" suatu sistem maka semakin terbuka kemungkinan percepatan sirkulasi dan tampilnya pemimpin-pemimpin muda. Celakanya justru di birokrasi lah "bottle neck" yang membuat putusan bisnis dan politik menjadi mandul, bahkan "keburu lemas" sebelum waktunya. Tak terhitung banyaknya kasus dimana pimpinan politik dan bisnis dibuat frustasi akibat ulah birokrasi yang bekerja dalam logika "kalau memang bisa dipersulit kenapa harus dipermudah" tersebut.Dalam ukuran keterdesakan dari ketiga sektor tersebut, dalam hemat kami, kepemimpinan kaum muda sangat dibutuhkan masuk segera dan lebih banyak ke dalam birokrasi. Birokrasi kita sangat membutuhkan infus darah-darah segar dari kaum muda. Bayangkan nilai startegis birokrasi dengan jumlah pegawainya yang berjumlah sekitar 4 juta orang! Sungguh mereka dapat membuat perubahan dipercepat atau diperlambat bahkan dengan hanya satu hal: selera birokrasi! Disinilah pentingnya di-review tentang aturan kepegawaian dalam birokrasi Indonesia sehingga memungkinkan tampilnya pemimpin-pemimpin muda yang memiliki kualitas, kapasitas, dan talenta yang lebih baik.Kemudian, kepemimpinan kaum muda juga membutuhkan prasyarat berikutnya untuk dapat tampil: sikap legowo dari kaum tua. Sikap legowo ini semacam "restu" yang mempersilahkan kaum muda untuk tampil sehingga kepemimpinan yang muda dapat berlangsung kondusif. Mendapatkan sikap legowo bukan perkara yang mudah namun juga tidak terlalu sulit. Tidak mudah karena yang tua merasa lebih, lebih tahu, lebih berpengalaman, lebih pantas, dan lebih berhak. Tidak sulit karena yang tua juga masih memiliki obyektifitas ketika yang muda menunjukkan kualitas, kapasitas, talenta, dan -- ini terkadang yang lebih penting-- kesantunan. Wacana Presiden MudaSemoga ini bukan karena "Obama Effect". Melainkan didasarkan atas kebutuhan riil bangsa Indonesia. Dalam wilayah ini bisa terdapat perdebatan yang seru dan syarat kepentingan. Unsur subyektifitas mudah masuk dalam hal ini, apalagi menjelang Pemilu 2009. Terlepas dari faktor tersebut, wacana ini layak untuk dikembangkan paling tidak karena beberapa hal berikut: pertama, industri kepemimpinan nasional saat ini masih "sakit" akibat diberangus oleh sistem Orde Baru yang sentralistik dan monolitik. Sebagian besar pimpinan nasional saat ini hampir di setiap sektor bukanlah tipikal pemimpin yang mengakar melainkan model "jenggot", menggantung ke atas karena sistem yang mengkondisikan demikian. Kini setelah reformasi dan demokratisasi, dibutuhkan yang mengakar bukan yang menggantung. Wacana presiden muda adalah "warning" pada setiap pemimpin --dengan simbol tertingginya presiden-- untuk menghadirkan gaya kepemimpinan yang berbeda tersebut. Kedua, Indonesia adalah negara besar (dalam arti potensi dan sumber daya) yang membutuhkan energi besar dari para pemimpinnya --dengan simbol tertingginya presiden-- agar optimalisasinya maksimal. Presiden atau pemimpin yang muda tentunya memiliki energi yang lebih besar daripada yang tua. Dalam hal ini wacana presiden muda merupakan "warning" kepada setiap capres atau pemimpin bahwa "pengalaman" dan 'pengetahuan" tidaklah lebih berarti apabila tidak dapat direalisasikan akibat keterbatasan energi sang presiden.Terakhir, untuk lahirnya presiden atau pemimpin nasional yang kuat dan berwibawa dibutuhkan proses yang panjang dan berliku. Tidak instan dan asalan. Dalam hal ini wacana presiden muda berarti suatu "foreplay" atas proses yang panjang dan berliku tersebut. Wacana tersebut seolah membangunkan orang, terutama bagi yang berminat, untuk memulai segera perjalanan panjang tersebut dalam suatu perspektif bahwa itu mungkin baginya. Wallahu a' lam

Read More......

Kamis, 22 Mei 2008

Mengantar Republik Memasuki Era Baru (100 Tahun Kebangkitan Bangsa; Refleksi untuk Kaum Muda)

Oleh Arip Musthopa, SIP
Ketua PB HMI 2006-2008

100 tahun yang lalu tentu berbeda dengan kondisi saat ini. Hal yang paling nyata dan penting tentang perbedaan itu adalah 100 tahun yang lalu, Negara Bangsa Republik Indonesia masih merupakan suatu impian, cita-cita. Bahkan mungkin belum terpikir apabila kelak namanya adalah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan berideologikan Pancasila. Kekuasaan pemerintahan atas tanah nusantara ketika itu masih diperjuangkan untuk direbut dari Pemerintah Hindia Belanda. Namun kini, Negara Bangsa Republik Indonesia telah ada bahkan telah berusia cukup tua, 63 tahun. Begitupun dengan kekuasaan atas bumi nusantara, sudah ada dalam genggaman.

Persoalannya sekarang bukan lagi bagaimana membentuk Negara dan merebut kekuasaan seperti pada 100 tahun yang lalu. Tapi bagaimana menggunakan kekuasaan sehingga cita-cita kita berbangsa dan bernegara sebagaimana tertuang dalam alinea ke-4 Pembukaan UUD 1945 dapat terrealisasi. Inilah perbedaan kontekstual penting yang pertama yang harus dialamatkan dalam refleksi 100 tahun kebangkitan bangsa.
Selanjutnya, sejak reformasi dan amandemen UUD 1945, kekuasaan Negara berada dalam genggaman pemerintahan, bukan pemerintah. Walaupun pemerintah masih sebagai pemegang otoritas dengan porsi yang terbesar, “kue” otoritas pemerintahan sudah terbagi kepada legislatif, lembaga yudikatif, Bank Indonesia untuk moneter, pemerintah daerah, dan sebagainya. Kondisi ini berbeda dengan situasi masa Orde Baru dan Orde Lama di bawah UUD 1945 sebelum di amandemen yang membagi “kue” kekuasaan bukan saja terbesar kepada Pemerintah (eksekutif) namun juga dominan dan tersentral. Bahkan dalam kedua era tersebut, kekuasaan bukan lagi melekat pada lembaga namun telah mengalami personalisasi, melekat pada figur presidennya.
Perubahan yang sangat penting dan mendasar ini menuntut paling tidak tiga konsekuensi. Pertama, kita tidak lagi dapat berharap akan tampilnya pemerintah ataupun sosok presiden yang kuat dan dominan karena itu sama dengan memutar arah jarumnya ke era Orde Lama dan Orde Baru. Paling jauh kita hanya berharap tampilnya suatu pemerintahan yang efektif, itupun dengan catatan seorang presiden atau pemerintah tidak bertepuk sebelah tangan. Tepukan akan menghasilkan apabila tangan kekuasaan yang lainnya baik itu dari legislatif, yudikatif, pemerintah daerah, dan lain-lain juga melakukan hal yang sama.
Kedua, apabila kita tidak dapat berharap lahirnya pemerintah yang kuat apalagi sosok presiden yang kuat karena iklimnya yang tidak kondusif, lantas kepada apa semestinya kita memberikan perhatian atau harapan? Perhatian semestinya ditujukan pada pembangunan kelembagaan sesuai dengan peran dan fungsinya masing-masing dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Oleh karena itu, dimana pun kita berada, kita harus membangun dan memperkuat peran kelembagaan dari lembaga yang kita pimpin atau tempat dimana kita bekerja. Peran kelembagaan yang kuat dan efektif tersebut akan memberikan kontribusi pada harmonisasi sistem sehingga tercipta sistem berbangsa dan bernegara yang kuat. Bila ini yang terwujud, kepada sistem itulah kita dapat berharap.
Ketiga, bila titik kekuasaan sudah tersebar, apabila peran, fungsi, dan tugas sudah didistribusikan, maka upaya untuk menggerakkan kekuasaan dan otoritas tersebut kepada suatu fokus dibutuhkan effort yang lebih besar dan bahkan juga waktu. Dalam kondisi yang demikian, peningkatan intensitas dan kualitas koordinasi dan komunikasi adalah kata-kata kunci sebagai solusi. Konon, permasalahan komunikasi dan koordinasi antar setor pemerintahan saat ini betul-betul merupakan kendala yang cukup serius dan berperan penting memperlambat kinerja dan menciptakan misunderstanding dalam pemerintahan.
Ruang kekuasaan yang lebih terdistribusi dan terbuka dengan tingkatan yang variatif tersebut sesungguhnya merupakan kesempatan yang sangat baik untuk tampilnya sosok-sosok yang lebih muda. Sosok-sosok yang bukan semata muda secara usia namun yang lebih penting secara gagasan dan semangat. Kaum muda Indonesia ditantang secara serius untuk memanfaatkan kesempatan emas ini. Yakni, kesempatan untuk menduduki pos-pos penting dan strategis dalam lembaga publik maupun swasta dan berperan meningkatkan kapasitas lembaga tersebut untuk masa depan bangsa yang lebih baik dalam jangka panjang, bukan untuk sesuatu yang artifisial.
***
Konteks kedua yang penting dari 100 tahun kebangkitan bangsa adalah pada faktor kualitas sumber daya manusia dan sosial budaya. Kemampuan mendirikan organisasi modern Budi Utomo yang kemudian disusul oleh organisasi lain seperti Sarekat (Dagang) Islam, Muhammadiyah, Taman siswa, dan lain-lain merupakan kristalisasi dari peningkatan kualitas sumber daya manusia penduduk pribumi sebagai hasil dari politik etis yang diberlakukan Pemerintah Hindia Belanda pada akhir abad ke-19. Hal ini mewartakan bahwa lompatan besar dalam sejarah hanya dapat dilakukan apabila terjadi peningkatan kualitas sumber daya manusia yang signifikan.
Secara sosial budaya, ketika itu media komunikasi dan informasi masih sangat terbatas pada komunikasi tatap muka, surat dan surat kabar. Telepon dan radio belum menjadi budaya penduduk bumi nusantara. Apalagi televisi, komputer dan internet seperti saat ini. Akibatnya, saluran informasi dan pengetahuan masih sangat terbatas. Dinamika secara otomatis menjadi lebih rendah dan berbagai versi dalam memahami dan mengajukan cara pandang dalam kehidupan juga tidak sevariatif sekarang. Sarana transportasi juga masih belum seperti saat ini, saat itu masih belum ada pesawat, bahkan mobilpun belum.
Segala “keterbatasan zaman” ketika itu ternyata tidak mampu menggagalkan ide untuk membuat suatu “lompatan sejarah” yang kemudian kita kenal sebagai momentum kebangkitan bangsa. Ide yang digalang generasi awal abad ke-20 tersebut ternyata mampu menembus batas-batas keterbatasan zaman yang dikungkung oleh ruang dan waktu. Disinilah kita memperoleh pelajaran penting betapa memiliki sumber daya manusia yang lebih berkualitas jauh lebih penting dari sekedar kaya akan sumber daya alam. Oleh karena itu, kita patut “marah” kepada pemerintahan kita yang tidak memiliki paradigma untuk memprioritaskan pembangunan sumber daya manusia, malah sebaliknya, cukup serius dalam mengeksploitasi sumber daya alam. Semestinya strategi yang kita tempuh, mengeksploitasi sumber daya alam untuk berinvestasi di sumber daya manusia secara besar-besaran, bukan ‘sekedar memberi makan’ dan ‘membuat kemajuan-kemajuan artifisial’ yang alih-alih membuat kita semakin maju, malah membangun ‘rumah kertas’ yang rapuh apabila diterpa krisis dan gejolak negatif global.
Sebagai kaum muda Indonesia, kita dituntut untuk meluruskan paradigma pembangunan nasional yang berorientasi ‘sekedar memberi makan’ dan ‘membuat kemajuan-kemajuan artifisial’ tersebut menuju pembangunan untuk membangun sumber daya manusia yang unggul. Karena dengan keunggulan sumber daya manusia, kita akan kuat secara internal sehingga tidak rapuh diterpa krisis dan gejolak negatif global dan dapat meraih segala impian bangsa.
Akhirnya itulah yang menjadi tugas utama kita sebagai kaum muda: mengantarkan republik memasuki era baru; era dimana bangsa ini berorientasi dan berharap pada sistem dan lembaga bukan pada figur, dan berorientasi pada pembangunan manusia Indonesia bukan pada pembangunan yang ‘sekedar memberi makan’ dan ‘membuat kemajuan-kemajuan artifisial’! Wallahu a’ lam.

Read More......

Rabu, 02 April 2008

A Vicious Circle of Insults and Violence

Intro: Dutch film insulting Islam provokes increased bridge-building efforts.
By Hennie de Pous-de Jonge
Initiative of Change (Negeri Belanda), www.iofc.org

For some months now, the Dutch political scene has been unduly occupied by the extreme right wing parliamentarian Geert Wilders. At the last election his party came out of nothing to win nine seats. His programme is very simple: he blames Islam and Koran for most things that are wrong. He is keeping the whole country hostage by announcing his film *Fitna* in which he will reveal 'the danger of the fascist Islam and the barbarian Mohamed'. We have a bad experience with films about Islam, as the last one by Ayaan Hirsi Ali, resulted in her needing constant daily protection and in the filmmaker, Theo van Gogh, being ritually murdered by a young Muslim.
The news about this new film has apparently made it to the outside world, as our government has been getting warnings and threats as to what could happen if this film comes out. The threats are so serious that our minister of Development Cooperation has had to cancel his planned visit to Somalia. Our government has asked all its ambassadors in countries with large Muslim populations to explain that this films does not represent the opinion of the Dutch government.
We have according to our constitution freedom of expression in this country, therefore our laws do not allow our government to prevent anyone from making a film and saying what he or she wants to say. Measures can only be taken afterwards. This freedom, however, as premier Jan Peter Balkenende rightly said in his recent weekly press conference, is limited by responsibility. In view of this our prime minister asked Wilders in strong words to consider the consequences of his acts. Wilders however does not care a straw for these considerations. He calls the cabinet, the employers, the trade unionsand all the others who have pleaded with him not to make this film, cowards. 'Whoever else capitulates to Islam, I will never do that,' he claims.
A commentary in one of our leading newspapers quoted the Indonesian president Susilo Bambang Yudhoyono who described the reprinting of the Danish cartoons 'as a demonstration of senseless heroism that did not serve any democratic aim'. The danger is that Muslims will turn away from democracy when they see that democratic countries are not able to protect what is holy in their eyes, said the commentary.
This issue shows a giant gap in world views. In the West we enjoy enormous freedom. Unfortunately not everyone uses this freedom in a responsible way, but even so we do treasure it. Ironically many Muslims have come to Western Europe precisely to enjoy freedoms that they do not have in their ownhomelands. So even though we may disagree with the way people use freedom, we defend their freedom to do so. Our government disapproves of Wilders actions – but it also condemns all death threats against him.
We in the West look at the massive demonstrations in Sudan triggered by a teddy bear named Mohamed or by cartoons and are unable to comprehend. Seeing that, I think to myself: should the demonstrators not be more concerned about the violation of human rights in Darfur, which is causing so much suffering? How can a teddy bear be more important than the loss of human lives and the rape of innocent women?
The very best way to react would be for Muslims – and for everyone else – to ignore Wilders, or the cartoons or any other insults. Then these insults would soon stop. The aim of the filmmakers, authors or cartoonists is to polarize, and the more violent the reactions are, the more they become a confirmation of what the 'insulters' claim. Public Muslim figures in the Netherlands have gone around appealing for calm. It is precisely by staying calm that we can do Wilders a bad turn, they say. And they want to dialogue with followers of Wilders, a dialogue that Wilders himself refuses to enterinto. Unintentionally, the threat of this film, which no one has seen yet, has also positive results: a public debate on the relationship between freedom and responsibility, multicultural meetings, people in problem areas coming together to support each other in creating a friendly atmosphere in the suburbs.

Ironically, Wilders still has not been able to show his film because not one television station has wanted to broadcast it (they do not want to be the spokesperson for Wilders and his party, they say.) Our main press centre 'Nieuwspoort' in The Hague has reluctantly given him permission to launchthe film there, because after all it is the centre for 'the free word'. But they made the condition that he will pay himself for the protection inside the building, which he probably cannot do. The president of 'Nieuwspoort'announced also that they will give space to a counter opinion. The only option left for Wilders may be the internet, which is bad enough.
What can each of us do to help bridge this gap between different world views? Of course we must search our own hearts and conscience. Nobody is perfect and no country is without blame. We must try, however difficult it is, to live into each others world view. We hit each other at our weakest points. While one side uses violence, the other uses insults. Just as non-Muslims should not blame the whole of the Muslim world for the violent acts of some, I hope that the Muslim world will not blame the whole of the Western world for the insults of some. Should it not be looked at this way: that the insulter, in fact, insults himself? Let the insult stay with him or her, and let the others get on with building bridges of trust, with respect and in freedom!

Read More......

Senin, 17 Maret 2008

Kapitalisme, Domba, Meja Panjang

Oleh Muhammad Chatib Basri
Sejarah kapitalisme di Eropa mungkin adalah sejarah tentang domba danmeja panjang. Saya teringat satu risalah lama, mungkin ditulis olehOnghokham, tentang binatang ternak di Eropa dan Jawa beberapa abad lalu.

Di Eropa, ternak terpenting adalah domba, yang membutuhkankonsentrasi kapital yang besar (seperti lahan atau tanah) untukmenggembalakannya. Sedangkan di Jawa, konon, ternak utama adalah ayam, yang tak perlu konsentrasi kapital atau tanah yang luas. Sejarah kapitalisme barangkali juga sejarah tentang meja panjang.Cobalah lihat akar kata bank. Dalam bahasa Prancis, bank ditulis denganbanque (meja panjang yang berisi makanan), atau banca dalam bahasaItalia. Kata ini pun ada hubungannya dengan bangkrut, berasal dari katabanca rotta (Italia), yang artinya meja yang rusak (Inggris : rotten)karena kesalahan si pemilik meja itu sendiri. Tapi mengapa kemudian bank dikaitkan dengan meja panjang? Konon, ituadalah meja yang digunakan oleh orang Yahudi untuk mencatat aktifitaspeminjaman uangnya. Orang datang kepada lintah darat yang duduk didepan sebuah meja panjang. Saya tak tahu seberapa benar argumen ini, tapi marilah kita tengokperkembangan kapitalisme di Eropa. Di abad-abad lalu, kita melihatsebuah Eropa yang membenci duniawi. Aristoteles, misalnya, menunjukkanbahwa kebebasan adalah sebuah konsep tentang sebuah wilayah yangswasembada. Menjadi kaya, Aristoteles, adalah sesuatu yang boleh, tapimenjadi kaya melalui aktifitas dagang adalah membaha-yakan. Itu sebabnya mereka yang terlibat aktif dalam perdagangan untukmenghidupi diri mereka, dalam sebuah rezim yang baik, tidak boleh punyaperan dalam politik. Dan rezim yang baik adalah rezim yang diatur olehwarga terbaiknya dan memiliki nilai yang luhur. Karena itu warga yang baik adalah warga yang tak hidup dengan cara yangvulgar atau kasar seperti jalan hidup kaum pedagang. Dari konsep initampak bahwa dagang adalah kegiatan yang mencurigakan, yang menurunkanharkat. Pendapat Aristoteles ini juga sejalan dengan pandngan gerejawaktu itu, yang berlawanan diametral dengan pandangan para kapitalis. Kita mungkin teringat Wall Street, film Oliver Stone di akhir 1980 an,dimainkan Michael Douglas, yang memerankan Gordon Gekko. Gekko adalahsosok lantang : tamak adalah baik. Sebuah kontradiksi sempurna denganajaran Aristoteles atau ajaran agama-agam. Wall Street tentu sajasebuah film dengan pesan klasik, bahwa yang baik akan menang dan yangtamak akan kalah. Namun, dalam film ini dilukiskan dengan tajambagaimana ketamakan mendorong perilaku manusia. Membungakan uang atau riba dilarang oleh teologi Kristen, jauh sebelumIslam melarang riba. Dalam Kristen, pada awalnya orang diijinkanmeminjamkan uang kepada ”orang asing” tapi tidak kepada ”saudara”sendiri. Pandangan ini sejalan dengan pandangan proteksionis dan kaummerkantilis, yang mementingkan ”kelompok kita” dan mencoba mengambilkeuntungan dari pihak ”asing”. Dengan larangan membungakan uang bagi umat Kristen itu, yang tersisaadalah kelompok Yahudi. Lalu dibuatlah aturan : orang Kristen dilarangmembungakan uang, orang Yahudi tidak dilarang. Inilah yang kemudianmembuat Yahudi menguasai sektor ekonomi dan menjadi kaya. Larangan itumembuat kaum Yahudi kemudian diasosiasikan dengan aktifitas membungakanuang dan masuk dalam aktifitas ekonomi yang terlarang untuk orangKristen. Masyarakat Yahudi di Eropa yang semula hidup dari pertanian dankerajinan berubah menjadi masyarakat pedagang, terutama berdagang uang.Gereja Katolik kemudian memaksa komunitas Yahudi meninggalkankepemilikan tanah, dengan dengan cara tak akan membayar sewa tanah yangdimiliki Yahudi. Akibatnya masyarakat Yahudi beralih ke barang-barangberharga-bergerak, seperti berlian dan logam mulia. Dari sisi Yahudi sendiri, cara hidup berdagang sesuai dengan pandanganagama mereka, yang mengajarkan bahwa harus banyak waktu diserahkankepada Tuhan. Dagang dan membungakan uang kurang memakan waktuketimbang bertani, jadi lebih banyak waktu untuk mengabdi Tuhan. Itulah yang menjelaskan mengapa Yahudi kemudian menguasai perekonomiandi Eropa dan menjadi kuat secara politik, karena negara membutuhkanuang mereka untuk diperas. Karena itu masyarakat Yahudi bertindakseolah sebagai penghisap uang, yang kemudian akan dihisap lagi olehkerajaan. Bagaimanapun, Yahudi telanjur menguasai perekonomian Eropa. Benvenuti de Rambaldis de Imola menulis tentang karya termashur Dante,Divine Comedy. Penulis Italia itu berkelakar : mereka membunga-kan uangakan masuk ke neraka, sedangkan mereka yang gagal dalam membungakanuang akan terperosok ke dalam kemiskinan. Riwayat Yahudi di Eropa mungkin mirip dengan sejarah orang Cina diIndonesia. Kelompok Cina dulu tidak diijinkan masuk aktifitas selainekonomi; mereka kemudian berperan besar dalam ekonomi Indonesia. Memang kemudian terjadi pergeseran pandangan. Thomas Aquinas (Katolik)menyatakan uang itu steril dan tak kotor. Calvin (Protestan) berkata,membungakan uang diijinkan sampai lima persen, meski ia tetap mengecammereka yang hidup hanya dari membungakan uang. Dari sinilahtransformasi mulai terjadi. Kita bisa melihat beberapa pendukung pasar. Orang seperti Adam Smithdan Voltaire, misalnya, mengatakan bahwa aktifitas pasar dinilai bukankarena ia membuat orang menjadi lebih kaya, tapi karena memungkinkaneconomic self-interest dianggap kurang berbahaya dibanding upayamengejar hal lain, termasuk fanatisme agama. Voltaire adalah pengecam fanatisme agama, yang dianggap penyebab perangdan pertumpahan darah. Tentu orang bisa beragumen bahwa kapitalisme punmenimbulkan perang. Dan ini benar. Tapi David Friedman punya argumen lain. Menurut dia, ada tiga carauntuk membuat orang lain bersedia melakukan aktifitas yang kitainginkan. Cara pertama adalah cinta. Bila seseorang mencintai oranglain dengan sepenuh hati, maka ia akan melakukan permintaan orang itudengan sukarela. Sayangnya, dalam realitas kita tak bisa mengharapkansemua orang mencintai kita. Karena itu, kata Friedman : love is notenough. Cara kedua adalah paksaan (coercion). Pilihan ini kerap efektif untukmembuat orang lain melakukan apa yang kita inginkan. Tapi paksaanakhirnya punya batas. Ada biaya yang sangat besar untuk ini. Maka perlucara ketiga : trade. Dalam trade, seseorang akan bersedia melakukanaktifitas bagi kepentingan orang lain, jika kepentingannya jugadiakomodasi oleh orang itu. Dengan kata lain, di sini terjadi pertukaran. Quid pro quo, atau iniuntuk itu. Dalam konteks ini ketika orang merasa bahwa dengan melakukansesuatu ia akan menerima manfaat dari tindakan itu, maka keputusannyauntuk bertindak akan bersifat sukarela. Dan ini sejalan dengan premis dasar libertarian. Selamakepentingan-kepentingan itu berinteraksi, dan masing-masing pihakmelihat keuntungan dari interaksi itu, selama itu pula proses interaksisosial berjalan. Sejarah kapitalisme memang penuh warna. Sebuah sejarah panjang yangmengalami transformasi : dari domba menjadi modal, dari meja panjangmenjadi bank.@

Read More......

Ziauddin Sardar: 'Islam Itu Seperti Samudra’

Sepekan di Indonesia, memberi gambaran yang bagus bagi pemikir Islam asal Inggris, Ziaudin Sardar, tentang masa depan Islam. Menurut dia, Indonesia adalah bentuk Islam di masa mendatang. Keberagaman yang ada di Indonesia, dinilainya bisa menjadi ikatan yang menyatukan. Dalam situasi perbincangan yang santai di salah satu ruang di British Council, Jakarta, dia menerima Iman F Yuniarto, Johar Arief, dan Irfan Junaidi, dari Republika untuk berbincang tentang masa depan dan agenda Islam. Berikut isi perbincangannya:

Bisa Anda gambarkan bagaimana masa depan Islam? Ya, kebanyakan orang berpikir bahwa Islam itu seperti sungai, yang diapit oleh batas, dan hanya mengalir ke satu arah. Tapi saya menganggap Islam itu seperti samudra yang tidak punya batas yang riil. Di samudra, Anda bisa mengarahkan budaya masyarakat pada arah tertentu yang dimiliki Islam. Di sungai, Anda tidak memerlukan penentuan arah. Di samudra, Anda memerlukan arah, karena Anda bisa bergerak ke manapun. Itulah nilai-nilai Islam. Menurut saya, kebanyakan Muslim tidak benar-benar memahami nilai Islam. Mereka pikir nilai Islam itu hanya shalat, puasa, zakat. Mereka tidak berpikir bahwa bertanya itu adalah juga nilai Islam. Mereka tidak menjadikan bertanya sebagai kunci dari nilai-nilai Islam. Padahal, kalau Anda lihat Alquran, di sana penuh dengan pertanyaan. Dialog pertama Nabi (Muhammad SAW) saat menerima wahyu adalah bertanya. Saat Nabi diminta untuk membaca, beliau mempertanyakan, apa yang harus dibaca. Jadi mengapa kita tidak jadikan bertanya sebagai nilai Islam. Jadi, buat saya, bertanya itu adalah nilai dasar Islam. Selain itu, membaca, berpikir, dan menulis, adalah juga nilai-nilai Islam. Bahkan, nilai ini datang lebih awal sebelum perintah shalat dan puasa. Dan jika Anda melihat masyarakat Muslim, satu hal yang tertinggal adalah membaca. Menulis juga tidak menjadi sesuatu yang diperhatikan dalam masyarakat Islam. Nilai lainnya yang juga penting adalah ijma' (konsensus). Mengapa ini penting. Karena dalam Islam juga dikenal debat dan mengkritik. Kalau Anda debat atau memberi kritik, berarti ada berbedaan pendapat. Tapi seseorang tidak bisa memaksakan pendapatnya. Anda bisa laksanakan pendapat jika sudah ada ijma'. Masyarakat Islam tidak pernah setuju dengan sesuatu yang salah. Musyawarah menjadi nilai Islam yang mendasar. Musyawarah itu berbeda dengan konsultasi. Musyawarah itu merupakan bentuk pertanggungjawaban. Konsultasi itu tidak mengandung pertanggungjawaban. Dan konsultasi itu hanya berupa pertanyaan yang sifatnya personal. Ada banyak mekanisme musyawarah. Pemilihan, referendum, adalah bagian dari musyawarah. Saya kira saat ini Muslim tidak punya navigasi, karena nilai-nilai yang dipegang hanya nilai-nilai yang bersifat ritual. Yang dipegang bukan nilai-nilai yang nyata. Jadi, menurut saya, masa depan Islam itu memiliki banyak arah. Jadi, saya tidak melihat masa depan Islam hanya bergerak pada satu arah. Karena itu, buku saya menyebut Islamic futures (huruf s di akhir kata menunjukkan jamak), bukan Islamic future, atau The Islamic future. Banyak sekali jalan untuk menjadi Muslim. Jadi masa depan Islam itu terbuka, beragam, dan dinamis. Islam itu bukan hanya satu, tapi beragam. Jadi menurut Anda, masa depan Islam itu cerah apa suram? Ya, itu pertanyaan yang akan saya jawab. Masa depan yang baik ataupun yang buruk itu tergantung kita. Masa depan bisa kita bentuk. Jadi, kalau kita bentuk agar masa depan menjadi suram, itu salah total. Tapi kalau kita ciptakan masa depan menjadi cerah, itu perjuangan kita. Jadi itu tergantung kita, bukan tergantung pada sesuatu yang abstrak. Saya percaya kita bisa membuat masa depan yang baik. Saya pikir, para cendekiawan muda di dunia Islam telah menyediakan sesuatu yang bisa diharapkan. Mereka bangkitkan Islam dalam berbagai aspek. Tapi kalau kita pikir bahwa ritual adalah segalanya, kita tidak akan pernah bisa bergerak ke manapun. Dan kita tidak akan berada di mana-mana dalam 500-600 tahun mendatang. Apakah masa depan Islam itu harus seperti kejayaan Islam di masa lalu? Tidak. Kalau Anda berjalan maju, terus Anda lihatnya ke belakang, maka Anda akan membentur sesuatu. Jadi kalau Anda maju, lihatlah ke depan. Tapi kalau perlu melihat ke belakang, jadikan itu sebagai momentum. Itulah yang disediakan sejarah. Kita perlu belajar sejarah, kita perlu maju dengan tradisi kita, tapi kita tidak boleh terkekang oleh tradisi kita. Tradisi itu hanya jadi batasan yang kaku. Berbagai tradisi itu diperlukan untuk memajukan masyarakat, bukan untuk mengekang. Saat ini kita sedang menghadapi isu besar berupa kampanye melawan teroris. Menurut Anda, apa dampaknya terhadap masa depan Islam? Menurut saya, isu terorisme telah menghambat kemajuan perkembangan masyarakat Islam. Saat ini, kalau Anda lihat masyarakat Muslim, kita akan lihat apa yang sebenarnya diperlukan masyarakat Muslim. Kebanyakan mereka kesulitan pendidikan. Lihatlah laporan UNDP. Lihatlah, di seluruh kawasaan Timur Tengah, tidak ada satu universitas yang bertaraf internasional. Dari Maroko sampai Iran, tidak ada satu universitas yang bertaraf internasional. Di Timur Tengah, pemerintahannya juga masih kerajaan serta menekan. Jadi agenda kita adalah terorisme dan agenda ini. Terorisme tidak akan mengatasi masalah (keterbelakangan dunia Islam) ini. Kita harus akui bahwa dunia Barat mempengaruhi Mubarak (presiden) di Mesir. Dunia Barat juga membuat penjajahan dan kekacauan di Irak, dan sebagainya. Itu benar. Tapi terorisme tidak akan bisa membuat Barat untuk tidak melakukan itu semua. Jadi problem bagi dunia Islam, bukan hanya kekuatan Barat, tapi juga kondisi dunia Islam sendiri. Haruskah kita terlibat dalam perang melawan terorisme itu? Ya, lihatlah contoh. Anda punya dua peristiwa pengeboman di Bali. Anda harus hentikan mereka yang jadi pelakunya. Jadi orang Indonesia bertanggung jawab untuk melakukan sesuatu yang bisa mencegahnya. Jadi mereka tidak membunuh manusia yang tidak berdosa. Saya pikir, kalangan ekstrem dalam masyarakat Muslim itu adalah minoritas. Tapi ini juga menjadi bagian dari tanggung jawab kita. Kalau Anda tidak bicara dengan mereka, kita izinkan mereka menjadi sesuatu yang tidak terlihat. Kalau Anda bicara dengan mereka, mereka akan menjadi terlihat. Manusia yang terlihat tidak akan mau menjadi teroris. Kita seharusnya tidak membiarkan mereka hidup hanya dalam dunia mereka yang terpisah dari kita. Apa yang membuat mereka tidak terlihat? Karena mereka berada di pinggiran. Mereka ingin sembunyi dan hanya bertukar pikiran hanya dengan anggota kelompok mereka. Kita perlu membawa mereka dalam komunitas dan tidak membiarkan mereka tersembunyi di pinggir. Kita sangat terbuka untuk berdialog dengan mereka. Kita tak boleh mereka mengambil anak-anak muda untuk dicuci otaknya. Sebagian kami menganggap bahwa perang terhadap terorisme sebenarnya perang terhadap Islam. Anda setuju? Saya pikir, terorisme paling menjadi masalah bagi umat Islam disbanding bagi umat lain. Umat Islam paling banyak menjadi korban dari aksi terorisme. Dalam 15 tahun terakhir, ratusan Muslim di Pakistan meninggal akibat serangan teroris. Ada juga satu kelompok Muslim yang membunuh Muslim yang lain, seperti yang terjadi antara Syiah dan Sunni. Hal serupa di Arab Saudi, Mesir, Yordania, dan sebagainya, yang terbunuh adalah Muslim. Bahkan tragedi 9/11, juga membunuh banyak Muslim. Bahkan tragedi 7/7 di London, juga membunuh banyak Muslim. Jadi terorisme menjadikan Muslim sebagai sasaran pertama. Jadi kalau menganggap perang melawan terorisme adalah perang melawan Islam, itu adalah mental dari korban yang terluka. Mereka berpikir tidak ada yang salah dengan dunia Islam. Yang selalu salah adalah Barat. Kita tertekan, sebabnya Barat. Kita tertinggal, sebabnya Barat. Kita lalai,sebabnya Barat, dan sebagainya. Semuanya, disebabkan Barat. Ini sangat berbahaya. Jadi sebenarnya di mana posisi Barat terhadap dunia Islam? Ini sangat jelas bahwa Barat adalah kekuatan yang dominan. Anda tahu bahwa kekuatan itu datang dari pengetahuan. Anda tahu bahwa kita memerlukan pemberdayaan masyarakat untuk meningkatkan pengetahuan dan kemajuan ekonomi. Militer hanyalah bagian kecil dan kekuatan itu. Anda tidak akan punya kekuatan militer jika tidak punya kekuatan ilmu pengetahuan. Dan kita lemah dalam semua ini. Kekuatan itu harus diusahakan, bukan datang begitu saja. Apa yang harus dilakukan dunia Islam terhadap kekuatan Barat? Menurut saya, dunia Islam harus mengajak dunia Barat. Ini era global. Kita harus turut serta dalam pemberdayaan yang dilakukan masyarakat dalam konteks yang sejajar. Saat ini kita tidak sejajar dalam kaitannya memajukan ilmu pengetahuan, riset, dan pemberdayaan masyarakat. Terlalu banyak perbedaan. Kita harus membangun kembali pemberdayaan masyarakat kita. (Republika - Senin, 09 Oktober 2006)

Read More......

Democratizing Globalization

Oleh Arip Musthopa

Dalam bukunya Making Globalization Work (Penguin Books, 2006), Joseph E. Stiglitz makin mengukuhkan karakternya yang memiliki perspektif yang tajam dan kritis terhadap globalisasi. Namun Stiglitz jauh dari sikap yang anti globalisasi, melainkan ia mengajukan berbagai pemikiran maju yang diharapkan menjadi solusi atas berbagai isu mendasar dalam globalisasi seperti kemiskinan, ketidakadilan, dan demokrasi. Bagi Stiglitz, globalisasi telah membawa suatu “unprecedented benefits to all”. Namun demikian, globalisasi harus terus dikritik dan harus di “remake” sehingga ia menjadi lebih dekat kepada apa yang ia janjikan.

Stiglitz menyoroti secara serius permasalahan ‘inequality’ (ketidakadilan/ kesenjangan) yang terus meningkat, khususnya dalam hal ekonomi. Isu seputar masalah ini adalah tentang ‘jobs’ (pekerjaan) dan tenaga kerja, produksi dan produktivitas, serta ‘income’, modal, dan ‘outsourcing’. Secara khusus, Stiglitz mengupas tentang outsourcing yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan Amerika ke India dan China. Menurutnya, fenomena outsourcing bukan hanya tentang upaya untuk meminimalisasi biaya produksi dan berapa jumlah tenaga kerja yang di-outsourced namun sudah mengakibatkan kekhawatiran orang-orang Amerika tentang pekerjaan dan bahkan dapat mengakibatkan gap antara supply dan demand tenaga kerja di Amerika Serikat yang bisa menyebabkan masalah yang lebih besar. Dalam periode tahun 2001-2004 saja, akibat outsourcing Amerika kehilangan 2,8 juta pekerjaan di sektor manufaktur.
Ulasan Stiglitz tentang peningkatan ketidakadilan dan fenomena outsourcing dalam tulisannya ini seolah ingin menunjukkan bahwa globalisasi bukan hanya memukul developing countries namun juga negara maju seperti Amerika Serikat. Karena fenomena outsourcing bagaimanapun bermuka dua, yakni keuntungan dan kerugian sekaligus. Bagi negara industri maju, paling tidak ada 3 jalan merespon tantangan globalisasi dalam masalah ini : pertama, mengesampingkan permasalahannya dan menerima peningkatan ‘inequality’; misalkan yang diajukan proponen teori trickle-down economics). Kedua, menolak globalisasi yang fair (adil). Sikap yang kedua ini berarti globalisasi merupakan momentum bagi Amerika dan Eropa menggunakan kekuatan ekonomi mereka untuk memastikan ‘rules of the game’ agar globalisasi menguntungkan mereka secara permanen –-paling tidak selama yang memungkinkan untuk itu. Baik yang pertama maupun yang kedua, bagi Stiglitz adalah ‘not working’ dan ‘morally wrong’ dan secara ekonomi maupun politik ‘unviable’. Selanjutnya Stiglitz merekomendasikan sikap yang ketiga, yakni ‘coping with globalization and reshaping it’. Dalam sikap yang ketiga ini, negara-negara industri maju hanya memerlukan sejumlah kebijakan dalam rangka upaya penyesuaian.
Stiglitz selanjutnya mengupas tentang terjadinya ‘democratic deficit’ dalam lembaga-lembaga internasional seperti IMF, WTO, dan World Bank. Hal ini ditunjukkan dengan tidak berjalannya prinsip dan mekanisme demokrasi dalam proses pengambilan kebijakan di lembaga-lembaga tersebut yang mengakibatkan kebijakan yang dikeluarkan tidak tepat dan menuai kegagalan. Selanjutnya hal ini berdampak pada citra dan kredibilitas lembaga-lembaga tersebut yang terus mengalami erosi.
Dalam upaya mengatasi masalah ini, Stiglitz mengajukan dua respon. Pertama, mereformasi tatanan institusional. Kedua, berfikir lebih hati-hati tentang apa yang diputuskan dalam level internasional. Yang pertama meliputi perubahan dalam struktur voting di IMF dan Bank Dunia, dengan memberikan hak yang lebih besar untuk negara-negara berkembang; perubahan dalam hal representasi/ perwakilan, siapa yang mewakili masing-masing negara? Hendaknya menteri yang terkait dengan bidang yang dibicarakan (tidak melulu menteri keuangan atau menteri di bidang ekonomi) ; mengadopsi prinsip perwakilan dengan mengacu pada prinsip-prinsip demokrasi.
Selanjutnya perlu juga dilakukan terhadap lembaga-lembaga tersebut upaya-upaya untuk meningkatkan transparansi; memperbaiki aturan-aturan tentang conflict-of-interest; lebih terbuka, termasuk memperbaiki prosedur-prosedur; mendorong kemampuan negara-negara berkembang untuk partisipasi secara lebih bermakna dalam proses pembuatan kebijakan; meningkatkan akuntabilitas; prosedur-prosedur hukum yang lebih baik; dan lebih baik lagi dalam mendorong ‘international rule of law’.
Sementara itu dalam rangka memperbaiki kebijakan-kebijakan di level internasional dibutuhkan ‘a new global social contract’ antara negara maju dan negara yang kurang maju/berkembang. Diantaranya adalah dengan membuat (1) sebuah komitmen dari negara-negara maju untuk menciptakan rezim perdagangan yang lebih fair, (2) sebuah pendekatan baru untuk hak atas kekayaan intelektual dan promosi riset, (3) sebuah persetujuan dari negara-negara maju untuk memberikan kompensasi kepada negara-negara berkembang atas ‘their environmental services’, (4) sebuah komitmen dari negara-negara maju untuk membayar negara-negara berkembang secara lebih fair atas sumber daya mereka yang dieksploitasi negara-negara maju; (5) mereformasi arsitektur keuangan global yang akan mengurangi ketidakstabilan, dan lain sebagainya.

Komentar
Apa yang dipaparkan dan diajukan oleh Stiglitz sungguh menarik dan banyak diantaranya bernilai praktis cukup tinggi. Hal ini tentu tidak terlepas dari pengalaman Stiglitz sendiri selama berkecimpung di lembaga-lembaga tersebut maupun di dalam pemerintahan Amerika Serikat. Namun demikian, tetap perlu digaris bawahi bahwa tetap dominannya perspektif negara maju dalam pandangan-pandangan Stiglitz. Sehingga cukup melakukan ‘remake’ atau ‘reshaping’, tidak perlu sampai ‘restructuring’ yang lebih radikal atau mendasar. Sehingga kita menjadi ragu apakah tawaran solusi yang diberikan oleh Stiglitz, yang nampaknya cukup optimistis dengan solusi yang diajukannya, akan benar-benar mencukupi untuk mewujudkan globalisasi yang ‘nearly live up to its promise’?
Globalisasi secara ilmu pengetahuan dan teknologi nampaknya tetap harus kita pandang sebagai sesuatu yang tak terhindarkan (given). Karena berkat perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, interkoneksi (interconnection), intensitas (intencity), dan kecepatan (velocity) menjadi sesuatu yang sungguh nyata dan semakin meningkat. Namun apakah demikian secara ekonomi dan politik harus dipandang sebagai sesuatu yang given ? Sungguh saya tidak berpikir demikian. Sikap yang lebih kritis dan berhati-hati harus ditujukan dalam memandang globalisasi secara ekonomi dan politik, melebihi apa yang dilakukan oleh Stiglitz, dari sudut pandang negara dunia ketiga/negara berkembang yang merupakan habitat kini kita berada.
Kita sepakat dengan Stiglitz agar ada upaya untuk meningkatkan peranan negara-negara berkembang dalam pengambilan keputusan di lembaga-lembaga internasional. Namun hal tersebut akan semu apabila peningkatan itu tidak sampai pada titik yang memungkinkan negara-negara berkembang memiliki potensi untuk menang yang sama (fifty-fifty) dengan negara maju dalam menggolkan suatu kebijakan. Bahkan bagi kita, mungkin yang lebih dibutuhkan bukan potensi yang sama secara aturan main, melainkan potensi untuk menang yang lebih besar dari negara-negara maju dalam menggolkan suatu kebijakan karena dengan menggolkan lebih banyak kebijakan yang menguntungkan kita, kita memiliki banyak kesempatan untuk mengejar ketertinggalan dari negara-negara maju.@

Read More......

Refleksi 60 Tahun HMI

Oleh Anas Urbaningrum

Meraih Kembali Tradisi Intelektual Hari ini, 5 Februari 2007, HMI genap 60 tahun. Sebagai organisasi, HMI belumlah tua. Mengapa? Sebab, tugas sejarahnya belum mencapai puncak, apalagi selesai. Masih banyak tugas dan peran yang nyata-nyata menuntut kehadiran HMI.

Parameternya jelas, yakni khitah kelahiran HMI dengan visi keislaman dan keindonesiaan yang disandang. Dalam bahasa sederhana, hisab itu berbasis pertanyaan dasar: apa yang telah disumbangkan HMI bagi umat dan bangsa?Keluarga Besar HMI paham persis bahwa Harapan Masyarakat Indonesia adalah ungkapan Panglima Besar Jenderal Soedirman dalam bagian sambutannya pada dies natalis pertama HMI di Jogjakarta pada 1948. Saat itu, Jenderal Soedirman menumpahkan harapannya agar HMI bukan semata-mata Himpunan Mahasiswa Islam, tapi menjadi Harapan Masyarakat Indonesia.Plus-MinusSepanjang 60 tahun berdiri, HMI telah menampilkan peran dan kiprah bagi umat Islam dan bangsa Indonesia. HMI tidak hanya telah melahirkan banyak alumnus yangtersebar di berbagai bidang kehidupan bangsa, tapi juga turut mewarnai sejarah modern Islam Indonesia.Berbagai model alumnus lahir dari rahim perkaderan HMI. Berbagai tipe alumnus telah bermunculan dari pembelajaran di HMI. Kiprah alumni tumbuh dan berkembang sesuai panggilan jiwa masing-masing. Bebas memilih, sebebas cara berpikir yang dikembangkan dalam kehidupan organisasi.Jujur harus dikatakan, tidak semua kiprah dan peran alumni HMI bisa menjadi teladan. Ada yang tidak berhasil melawan sifat lalai, alpa, kemudian menerima musibah nama baik. Tapi, sebagian besar adalah orang-orang yang hidup dan tampil wajar, sesuaiprofesi masing-masing. Ulet bekerja, berkarya penuh ketekunan.Ada sejarah 1950-an yang melahirkan komitmen Negara nasional, bukan negara Islam. Ada sejarah 1960-an yang lebih berwarna pergulatan politik melawan kekuatankomunisme. Ada sejarah 1970-an yang ditandai tawaran terobosan tentang gerakan kultural bagi perjuangan umat Islam Indonesia.Tapi, ada pula sejarah 80-an yang menandai hubungan akomodatif dengan negara, terutama ketika isu asas tunggal. Ada pula sejarah 1990-an yang merupakankelanjutan sejarah relasi akomodasionis antara umat Islam dan negara serta diakhiri dinamika reformasi yang ditandai berhentinya Presiden Soeharto.Sama dengan organisasi dan gerakan kemahasiswaan lain, tantangan HMI menjadi lebih berat. Kondisi eksternal yang berubah cepat, dengan berbagai warna dan dinamikanya, sangat menuntut adaptasi, kreasi peran, serta kiprah baru yang relevan dan produktif.Ketika sikap kritis menjadi hal biasa, ketika intelektualitas mudah diakses secara bebas, ketika tradisi keagamaan berkembang pesat dengan penuh warna-warni, ketika politik massa menjadi lebih menonjol ketimbang keterampilan individual dan kekuatan lobi, ketika kekuatan dana sering membabat komitmen politik, serta ketika lulusan perguruan tinggi menghadapi sempitnya lapangan kerja, di manakah posisi dan peran organisasi kemahasiswaan di Indonesia? Di situ pula HMI berada. Sungguh tantangansejarah yang berat.Tegakkan KhitahSebagai organisasi perjuangan, HMI tetap penting dan strategis. Lahan garap mahasiswa, komunitas kaum muda terdidik, adalah wilayah yang lebih unggul daripada kelompok muda lain. Meski tidak sepenting pada zaman pra-kemerdekaan, 1950 sampai 1970, posisi serta peran mahasiswa tetap penting.Mahasiswa mempunyai peluang dan kesempatan untuk melakukan mobilitas sosial menjadi kelas menengah, pada berbagai bidang kehidupan yang semakinterbagi-bagi oleh proses modernisasi.Betapa pun, kelas menengah yang muncul membesar dan kuat merupakan salah satu modal pokok bagi masa depan Indonesia. Bukan kelas menengah yang (semata-mata)lahir dari faktor darah dan keturunan atau sebab-musabab patronase politik dan birokrasi, tapi kelas menengah yang lahir otentik lantaran kemampuan akademik-intelektua lnya, kemahiran dan ketrampilan teknokratisnya, serta komitmen sosialnya untuk terlibat dalam berbagai masalah kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara.HMI akan tetap hidup, tegak dan terus mampu menjalankan tugas sejarahnya, jika secara sungguh-sungguh mengonsentrasikan diri pada pengaderan mahasiswa yang dengan tajam diorientasikan kepada lahirnya komunitas kelas menengah yang mempunyai kedalaman akademik-intelektua l, kemahiran, ketrampilan teknokratis, serta komitmen sosial-politik yang memadai. Tentu, semua dipayungi komitmen dan landasan keislaman yang cukup.Dalam kaitan tersebut, HMI perlu menjaga, merawat, dan menajamkan pengaderan anggotanya dengan aksentuasi pada beberapa hal pokok. Pertama, pengkajian danpendalaman Islam adalah sisi mutlak. Kader sangat perlu dibekali wawasan dan inspirasi, pengetahuan, kesadaran dan spirit pergerakan, serta tubuh dan api Islam. Tentu, Islam dalam pengertian dan wajah modernis, pluralis, damai, kontekstual, dan bervisi masa depan. Kedua, pengembangan tradisi intelektual sangat penting dijaga dan dibangkitkan kembali. Itulah salah satu karakter yang menjadi bagian sejarah HMI. Jika sekarang intelektualitas dan tradisi intelektualisme agak menurun, tidak ada jalan lain kecuali menggali kembali "harta karun" tradisi intelektual yang dulu pernah berkembang.Ketiga, pengembangan tradisi kepemimpinan yang demokratis dan mengakar. HMI masih berpotensi menjadi salah satu ladang bagi lahirnya kepemimpinan sipildari kalangan Islam moderat –berpaham nasionalis-religius Islam. Kader-kader HMI, baik yang terjun lebih cepat ke jalur partai politik, menjadi akademisi atau jalur intelektual di kampus, maupun yang menempa diri di jalur LSM, dituntut tidak hanyamampu dan matang secara politik, terampil berorganisasi, dan mahir berkomunikasi sosial, tapi juga semakin dituntut untuk membangun basis dan akar politik yang memadai. Selamat dies natalis ke-60. Wallahu a’lam. (Jawa Post, 5 Feb 2007)Anas Urbaningrum, ketua umum PB HMI periode 1997-1999

Read More......